“Menyelamatkan” Jakarta

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

ilustrasi

ilustrasi

KEMERIAHAN perayaan HUT ke-486 Kota Jakarta, terutama acara malam muda-mudi di kawasan Monas hingga Bundaran HI, Jakarta Pusat, Sabtu (22/6), baru saja berlalu. Masih tergambar jelas dalam ingatan suasana meriah dan padat pengunjung itu. Pesta dengan panggung hiburan yang diisi oleh musisi dan penyanyi kesohor, meninggalkan kesan mendalam. Beruntunglah warga Jakarta dapat menikmatinya.

Duet pemimpin Jakarta, Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memang pintar mengambil hati warga Jakarta, yang kini berjumlah sekitar 10 juta. Sejak menjadi orang nomor 1 dan 2 di ibu kota negara, pada 15 Oktober 2012, Jokowi dan Ahok berusaha lebih dekat dan lebih mesra dengan penduduk.

Jokowi menampilkan gaya blusukan dan makan siang dengan warga untuk memecahkan masalah. Sedang sang wakil gubernur, Ahok, menampilkan gaya terbuka, sering tampil di media sosial. Acara-acara resminya, seperti rapat dengan staf, dipasang di You Tube, sehingga masyarakat luas mengetahuinya. Sepertinya tidak ada lagi rahasia.

Pendekatan demikian memang bagian dari gaya kepemimpinan Jokowi-Ahok dengan tema “Jakarta Baru”. Tema dengan dua kata itu diperkenalkan pada musim kampanye Pilkada DKI Jakarta, tahun lalu. Frasa itu pun disambut hangat oleh penduduk yang menginginkan perubahan. Orang-orang pun bicara duet Jokowi-Ahok. Hasilnya, duet itu memenangi Pilkada DKI lewat putaran kedua pemungutan suara, 20 September 2012.

Lihat, bagaimana Jokowi menjawab secara cepat, terkesan “lugu”, pertanyaan wartawan mengenai masalah yang begitu serius. Jawabannya mengalir begitu saja, tanpa kesan “mikir” dulu. Melihat ini, kita ingat gaya Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), yang dengan senang hati melayani pertanyaan wartawan secara doorstop. Hasilnya selalu menjadi berita penting. Maka, penghuni Jakarta pun amat berharap Jokowi mampu memecahkan masalah menahun di Ibukota, seperti kemacetan arus lalu lintas dan angkutan kota.

Apa Jakarta Baru?

Lantaran itu, eloklah kita lebih fokus menghadapi program Jakarta Baru, seperti disenandungkan Jokowi – Ahok, menuju tahun-tahun di depan. Tapi, seperti apa Jakarta Baru itu? Ini pertanyaan menarik. Nah, mengenai slogan ini, kita petik tulisan Musni Umar dalam buku Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru (2013), yang baru saja diluncurkan (21/6) di Kampus Universitas Kristen Indonesia Jakarta.

Dalam buku itu disebutkan, Jokowi – Ahok punya visi: “Jakarta Baru, kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik”.

Sedang misi, dijabarkan dalam lima butir. Pertama, mewujudkan Jakarta sebagai kota modern yang tertata rapi serta konsisten dengan rencana tata ruang wilayah. Kedua, menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas dari masalah menahun, seperti, macet, banjir, permukiman kumuh, sampah, dan lain-lain. Ketiga, menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik yang layak serta terjangkau warga kota. Keempat, membangun budaya masyarakat perkotaan yang toleran, tapi juga sekaligus memiliki kesadaran dalam memelihara kota. Kelima, membangun pemerintahan yang bersih dan transparan serta berorientasi pada pelayanan publik.

Dengan begitu, jelas, Jakarta yang diidam-idamkan adalah kota modern dengan fasilitas-fasilitas umum yang memadai, sehingga bebas dari masalah macet dan banjir. Jakarta harus menjadi kota yang ramah dan memberikan kesempatan kepada penduduk untuk mengembangkan budaya secara luas.

Di sini, termasuk budaya tertib hukum, budaya sosial, budaya pendidikan, budaya hiburan, dan sebagainya. Tentu, kota besar demikian harus dikelola oleh pemerintah yang sungguh-sungguh fokus pada pelayanan masyarakat, terbuka, aspiratif, dan bebas korupsi.

Dengan perkataan lain, Jakarta Baru tidak menafikan pembangunan prasarana dan sarana modern, yang diperlukan oleh banyak penduduk. Maka, Pemprov DKI lebih serius menggarap angkutan umum massal, semacam subway dan monorel. Juga lebih menaksir lagi program pengendalian banjir komprehensif, sekalipun diadang oleh masalah biaya yang begitu besar. Tapi, begitulah, menjadikan satu kota bebas masalah menahun, membutuhkan biaya besar sekali. Inilah yang dihadapi oleh Jakarta sejak kota ini menuju kota modern, mulai era Ali Sadikin.

Menyelamatkan Jakarta

Program Jakarta Baru, seperti tertuang dalam visi-misi, tentu mesti dijabarkan dalam bentuk program kerja yang diisi dengan anggaran. Tanpa uang mana bisa membangun dan kita pun yakin hal itu sudah tersedia. Terkait dengan itu, perencanaan kota sebaiknya disosialisasikan secara luas, agar warga kota dapat memahaminya. Jika sudah paham akan muncul partisipasi dan pada gilirannya akan meningkatkan kerja sama.

Tak mungkin kita meminta partisipasi dari pihak yang tidak atau belum memahami program yang akan dijalankan. Dan lebih tak mungkin lagi meminta kesediaan orang lain bekerja sama apabila tidak memahami apa yang akan dilaksanakan dan apa sasarannya. Maka, totalitasnya adalah sosialisasi program kerja secara konsisten dan berkelanjutan agar tema sentral, Jakarta Baru, dapat tercapai.

Selanjutnya, “menyelamatkan” Jakarta. Jika Jakarta Baru sudah tercapai, maka kota ini perlu diselamatkan agar tidak muncul lagi masalah berat. Soalnya, daya dukung kota ini amat terbatas. Beban Jakarta, sebagai kota dengan berbagai fungsi, seperti, kota perdagangan, kota jasa, pusat pemerintahan, dan ibu kota negara, sesungguhnya terlalu berat. Tak mungkin kota dengan luas sekitar 661 km persegi, ini, dapat menampung beban-beban itu. Lebih tak mungkin pula terus membangun Jakarta, karena lahan dan infrastruktur terbatas. Sekarang saja kota ini sudah dihadapkan pada kesulitan air bersih.

Lagi pula, Jakarta Baru harus tunduk pada ketentuan tata ruang wilayah. Jika ini dilanggar, ya akibatnya buruk. Juga tata ruang wilayah disusun sebagai batasan agar taak setiap lokasi dibangun. Maka, pembangunan Jakarta tak mungkin terus-menerus. Lantaran itu, sudah saatnya lebih serius lagi membangun “Jakarta-Jakarta” lain di daerah agar keinginan orang daerah mengadu nasib di Jakarta dapat dikendalikan.

Program membangun daerah atau kota-kota lain di luar Jakarta menjadi keharusan. Kalau dulu, program itu dinilai bersifat pemerataan dan tak permanen, boleh ya, boleh tidak, maka sekarang jadikan prioritas. Apa yang dimiliki Jakarta hendaknya pula dimiliki kota-kota lain, sehingga arus urbanisasi dapat dihentikan.

Sambil menunggu munculnya kota-kota besar, yang prasarana dan sarananya tak kalah dari Jakarta, sebaiknya sebagian beban Jakarta dikurangi. Fokus saja pada fungsi sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota negara, sementara fungsi-fungsi lain, serahkan ke kota-kota lainnya. Misalnya, dibangun pusat kebudayaan di Yogyakarta, dibangun pusat pendidikan di Bandung dan sekitarnya. Bangun pula kota internasional di Surabaya dan Denpasar.

Kalau itu diimplementasikan, suatu saat kita akan menyaksikan malam muda-mudi, yang berkesan, di Bandung, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Kita pun akan menyaksikan pasar malam di kota-kota, yang tak kalah meriah dari yang di Kemayoran. Kita pun akan dapat menyaksikan pameran teknologi informasi kelas dunia di daerah-daerah.

Belajar dari Jakarta, benahi kota-kota lain agar punya daya tarik dan daya saing, demi kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilaksanakan. Kita punya 34 provinsi dan setiap provinsi pasti punya kota yang dapat disejajarkan dengan Jakarta. Tapi, wujudkan dulu Jakarta Baru. Amboi, indahnya. ***

(penulis adalah wartawan dan editor buku)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS