Menunggu KPK Periksa Proyek Listrik Mangkrak
Oleh: Enderson Tambunan
PROYEK pembangkit listrik mangkrak sudah masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adalah Ketua KPK Agus Raharjo yang mengungkapkan sebagian dari 34 proyek mangkrak itu sudah masuk radar mereka.
Tatkala berbicara kepada wartawan, Kamis (10/11/2016), Ketua KPK memastikan pihaknya akan dibantu oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit proyek-proyek pembangkit tersebut.
Kasus proyek mangkrak ini ramai diberitakan media massa, belakangan ini, setelah Presiden Joko Widodo mempertanyakannya. Saat memimpin Rapat Terbatas Kabinet mengenai perkembangan pembangunan proyek listrik 35.000 megawatt, belum lama ini, Jokowi mengancam melaporkan ke KPK pihak pelaksana proyek-proyek yang mangkrak, terutama proyek yang tidak dapat dilanjutkan.
Menurut Presiden, pelaporan ke KPK dilakukan, karena menyangkut uang dan anggaran yang sangat besar. Oleh karena itu, Jokowi telah meminta laporan dari BPKP mengenai ke-34 proyek yang mangkrak antara 7 dan 8 tahun, yang masuk dalam fast track programme (FTP) 1 dan 2, seluruhnya berkapasitas sekitar 7.000 mw.
Secara terpisah, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyebutkan 12 dari 34 proyek mangkrak tidak dapat dilanjutkan pembangunannya. Ia menyebutkan, berdasarkan temuan BPKP, pemerintah telah membayar Rp 4,49 triliun untuk proyek-proyek ini, tetapi belum selesai. Jadi, ada kerugian negara, kata Pramono seusai menghadap Presiden di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/11).
Terkait dengan masalah ini, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi Sapto Pribowo, Kamis (10/11), menjelaskan, pemerintah memang belum membuat laporan ke KPK, karena BPKP masih mengauditnya. Setelah itu, pemerintah dapat menentukan langkah apa yang harus dilakukan demi menyelamatkan uang negara yang sudah terpakai dalam proyek.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka, akhir pekan lalu di Jakarta, mengatakan, berdasarkan hasil konsolidasi data PLN, terdapat 23 proyek pembangkit yang akan dilanjutkan dan 11 proyek diterminasi. Setelah konsolidasi data nilai investasinya Rp 11,3 triliun, tidak lebih dari itu. Sebagian besar adalah PLTU dengan total kapasitas 633,5 mw.
Seperti diberitakan, soal proyek mangkrak ini pernah dibicarakan di DPR pada era Menteri ESDM Sudirman Said. Belakangan ini, sorotan lebih ramai, terutama setelah Presiden Jokowi menyampaikan hasil kunjungannya ke daerah-daerah pada Rapat Kabinet Terbatas di Istana Negara, Jakarta, Rabu (22/6). Presiden menyebutkan banyak proyek pembangkit yang terhenti. Ia menyebut contoh, proyek listrik di Kalimantan Barat yang mangkrak 8 tahun dengan menghabiskan anggaran Rp 1,5 triliun.
Kemudian, pada rapat direksi PT PLN dan Komisi VII DPR, Kamis (13/10), juga dibicarakan perihal mangkraknya 34 proyek pembangkit, di samping topik-topik lainnya seputar kelistrikan.
Pada sisi lain, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengingatkan bahwa ke-34 proyek yang mangkrak bukan bagian dari program pembangunan pembangkit listrik 35.000 mw, tetapi masuk dalam program yang seharusnya selesai 2009.
Mengenai isu hangat ini, Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, akhir pekan lalu, mengatakan, 17 dari 34 proyek yang mangkrak akan dilanjutkan pembangunannya. Sedang proyek yang tidak ada solusinya, diterminasi. Selain itu, ada juga proyek yang masih ditunggu aspek legalitas dan finansialnya.
Penyebab mandeknya pelaksanaan proyek-proyek listrik ini, disebut-sebut antara lain, perencanaan yang kurang sempurna, kondisi lahan tidak representatif, dan lokasi yang sulit dijangkau dari jalan provinsi.
Penyelesaian Kasus
Perihal mangkraknya ke-34 proyek listrik sudah jelas terpampang di permukaan. Bahkan, Presiden Jokowi sudah mengancam akan melaporkannya ke KPK. Pertanyaan berikutnya, bagaimana saampai proyek-proyek itu mangrak? Apakah terkait dengan lemahnya persyaratan tender atau kurangnya pengawasan? Siapa saja yang patut dimintai pertanggungjawaban.
Mengingat masalah sudah masuk dalam radar KPK maka diharapkan KPK secepatnya memeriksanya dan segera pula mengumumkan hasilnya, supaya semuanya terang-benderang dan dapat dijadikan pelajaran berharga. Publik perlu mengetahui masalah yang sebenarnya dan seperti apa penyelesaiannya.
Dalam hal ini, pihak PLN diharapkan benar-benar menyelesaikan evaluasi kasus per kasus proyek dan hasilnya dapat dijadikan “pedoman jitu” untuk mencegah masalah serupa terulang. Pedoman itu amat diperlukan terutama untuk mengawal program pembangunan pembangkit listrik 35.000 mw – belakangan ini direvisi menjadi sekitar 19.763 mw – yang ditargetkan rampung 2019. Dengan demikian nanti tidak akan terdengar lagi kabar terjadinya proyek listrik mangkrak.
Selain itu, upaya melanjutkan pembangunan sebagian proyek yang mangkrak patut didukung untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Tanah Air, yang saat ini baru sekitar 84 persen, serta kepentingan bisnis. Mangkrak tidak berarti terhenti seterusnya. Proyek jalan layang Bekasi – Cawang – Kampung Melayu (Becakayu), yang sudah belasan tahun mangkrak, ternyata dapat dilanjutkan oleh pemerintah. Ini hanya salah satu contoh.
Pola pelanjutan pembangunan proyek Becakayu mungkin dapat diterapkan dalam menangani proyek pembangkit listrik yang mangkrak. Tinggal menunggu political will terutama dalam hal pembiayaan tambahan supaya proyek pembangkit tersebut dapat menjadi bagian dari upaya menerangi Indonesia.
Perlu diingat pernyataan Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Hendri Saparini, yang memperkirakan Indonesia mengalami krisis listrik sebesar 1.000 mw pada 2018. Ia berkata, setiap tahun tambahan kebutuhan listrik sekitar 5.000 mw, sedang PLN hanya mampu menyediakan pasokan sekitar 4.000 mw.
Dengan meningkatnya rasio elektrifikasi secara nasional, apalagi dapat menyentuh angka 100 persen dalam dua atau tiga tahun mendatang, kasus “byar-pet” atau pemadaman listrik sebentar tidak akan terjadi lagi dan moga-moga pula tarif listrik bisa lebih murah. (penulis seorang wartawan, tinggal di Jakarta)