Membangun Daya Tahan dan Kredibilitas Menghadapi MEA 2015

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

HIDUP di lingkungan bersuasana baru dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), membangun daya tahan dan kredibilitas adalah penting. Rencana pemerintah seperti disampaikan oleh Presiden SBY pada acara di HIPMI, beberapa hari yang lewat, untuk membentuk Komite Nasional dalam rangka menghadapi pelaksanaan MEA akhir 2015, patut membahas kedua tema tersebut, yakni daya tahan dan kredibilitas.

Daya tahan dan kredibilitas dimaksud adalah menyiapkan serangkaian kebijakan dan reformasi di bidang regulasi nasional dan daerah secara internal untuk memperkuat daya saing. Komite nasional bisa melahirkan hal-hal yang bersifat konkret dan di lain sisi mampu mengerucutkan ke arah terjadinya kesamaan pandang bahwa Indonesia harus dapat mengambil manfaat dalam lingkungan MEA.

Kebijakan dan regulasinya harus benar-benar berkualitas, kredibel, dan implementatif. Tidak distortif, tidak multitafsir, dan harus bisa dieksekusi dan berbiaya rendah. Investasi, ekspor, dan pasar dalam negeri harus menjadi perhatian utama. Pemerintah dan DPR harus membuat konsensus bahwa PDB Indonesia harus disumbang oleh tiga komponen pembentuk utamanya,yakni investasi, ekspor, dan konsumsi rumah tangga. Dunia manapun, khususnya di Asia akan bergerak ke arah yang sama.

Kebangkitan Asia termasuk ASEAN, akan berlomba dan memacu pertumbuhan ekonominya dengan membangun daya saing internasionalnya. Peran sains dan teknologi sangat menonjol untuk meningkatkan produktivitas industri manufaktur. Oleh sebab itu, mau tidak mau pemerintah harus menempatkan posisi strategis bahwa peran industri manufaktur yang berdaya saing menjadi pilihan satu-satunya. Stabilitas politik dan keamanan, serta stabilitas makro ekonomi mutlak diperlukan. Indonesia sebagai bagian dari MEA, harus punya semangat bahwa sekali menganut open policy maka banyak hal yang harus diperbarui oleh kita sendiri, baik di bidang keuangan, hukum dan regulasi, teknologi, ekonomi, politik, serta lingkungan sosial dan budaya.

Mengingat karena tiga pilar utama dalam Masyarakat ASEAN adalah mencakup 1) Komunitas Keamanan ASEAN, 2) Komunitas Ekonomi ASEAN, dan 3) Komunitas Sosial Budaya ASEAN, Indonesia dalam lingkungan MEA harus mampu mengubah postur ekonominya yang semula berbiaya tinggi menjadi berbiaya rendah. Konektivitas antarwilayah dan antardaerah tidak boleh terhambat dan atau sengaja dihambat, karena memaknai proses desentralisasi dan otonomi daerah dengan cara pandang yang salah, yakni lebih menitikberatkan kepada soal kekuasaan/kewenangan, dan “abai” terhadap pelaksanaan fungsi pelayanan yang efisien, cepat, mudah, dan murah.

Berubah dan Dinamis

Lanskap bisnis ASEAN sudah berubah begitu rupa dan sangat dinamis pergerakannya. Ketika ASEAN pertama kali dibentuk tahun 1967, nilai perdagangannya baru mencapai sekitar USD 10 miliar. Tahun 2005, awal KIB I bekerja, nilai perdagangannya telah mencapai USD 1 triliun lebih. Pada 2004, PMA ke ASEAN mencapai USD 26 miliar, yang pada 2003 baru mencapai sekitar USD 17 miliar.

Berdasarkan data statistik ASEAN tahun 2004, laju pertumbuhan produksi industri Indonesia adalah 10,50%, Thailand 8,50%, Malaysia 10,20%, Singapura 11,10%, dan paling tinggi adalah Kamboja 22,00%, dan Vietnam 16,00%. Sementara itu, investasi asing langsung (sumber UNCTAD) ke Singapura USD 16.060 juta, Malaysia USD 4.624juta, Vietnam USD 1.610 juta,Thailand USD 1.064, dan Indonesia USD 1.023 juta.

Jika Indonesia berhasil melakukan koreksi dan perbaikan mendasar dalam kebijakan dan regulasinya, stabilitas polkam dan makro ekonomi terjaga, serta investasinya di bidang infrastruktur, pengembangan SDM, teknologi, dan praktik pemerintahan yang baik di sektor publik dan privat terpelihara, maka negeri ini akan dapat mengambil manfaat yang besar sebagai pusat produksi dan distribusi dalam lingkungan MEA. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS