Melenceng Dari UUD 1945
Oleh: Fauzi Aziz
AKHIR-AKHIR ini banyak tulisan, hasil pengamatan dari berbagai kalangan yang menyatakan, antara lain, kita harus kembali ke UUD 1945, karena sebagian penyelenggaraan sistem ketatanegaraan “dianggap” bertentangan dengan konstitusi Negara, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 yang mengalami perubahan empat kali.
Tapi, dari pengamatan dan perdebatan yang selama ini berlangsung, terbuka di ruang publik, sepertinya terkesan dilandasi oleh persepsi masing-masing dalam menyatakan bahwa suatu UU tertentu dianggap berlawanan dengan semangat konstitusi. Kebijakan dan progam pemerintah di bidang ekonomi, misalnya, sering juga dianggap oleh sebagian masyarakat bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Bahkan ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa model kepemimpinan nasional melupakan kepentingan rakyat, dan saat itu pula para pemimpin kita langsung di-branding telah melawan UUD 1945.
Yang merisaukan buat kita semua adalah mungkinkah saling silang pengamatan publik tentang penyelenggaraan negara yang acapkali disebut sebagai bertentangan dengan konstitusi tersebut apa akan berakhir atau dapat disudahi? Supaya tidak menimbulkan kebingungan, ya sebaiknya harus disudahi, paling tidak ada upaya agar di antara kita tidak terjadi pemahaman yang berbeda-beda terhadap konstitusi nasional yang tercantum dalam UUD 1945.
Atau jangan-jangan ada sebagian warga Indonesia belum tahu bahwa UUD 1945 sudah diamendemen empat kali setelah reformasi tahun 1998 dimulai, karena “judulnya” tetap UUD 1945. Kalaupun tahu mengalami perubahan jangan-jangan ada sebagian di antara kita termasuk penyelenggara negara tahu saja tidak UUD 1945, apalagi membaca dan memahaminya.
Meski pernyataan ini bisa dianggap berlebihan, namun kalau kita cermati juga dalam keseharian, kalangan politikus kita sering memberikan tanggapan dengan nada enteng saja dengan kalimat “biasalah atau wajarlah” itu terjadi perbedaan pendapat dan persepsi tentang berbagai hal di masyarakat. Kita negara berdemokrasi, di mana rakyat diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya sesuai dengan persepsinya. Alamak, kalau begini meresponsnya dan terus berlangsung dengan cara demikian apa kata dunia tentang cara hidup berdemokrasi di Indonesia?
Persyaratan
Berbicara tentang konstitusi, berbicara tentang negara hukum dan berdemokrasi seperti di Indonesia memerlukan sejumlah persyaratan sebagai prakondisi bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pemimpinnya untuk mengerti dan memahami dengan baik dan benar tentang konstitusi dan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai panduan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih jauh dari itu, semuanya tanpa kecuali harus melaksanakan panduan tersebut secara konsisten. Kalau panduannya tidak jelas boleh ditanyakan kepada yang mengerti. Kalau panduannya ternyata memang tidak memberikan kejelasan, maka sebaiknya diperbaiki dan disempurnakan supaya menjadi jelas dan tidak menimbulkan multitafsir. Ini yang paling sederhana dan siklus semacam ini adalah hal yang wajar dalam setiap kehidupan. Malu bertanya sesat di jalan.
Hidup dalam negara yang menjunjung tinggi konstitusi, hukum, dan perundangan serta hidup dalam negara yang berdemokrasi memerlukan skill yang tinggi dan memahami dengan benar tentang konstitusi, hukum, dan demokrasi dalam mengelola negara dan bangsa ini sebagai panduannya.
Bayangkan kalau semuanya tidak dijalankan sesuai panduan, pasti berantakanlah. Sama saja kalau kita beli HP baru, canggih lagi, pada saat awal kita mau gunakan pasti akan kita baca dan pelajari manual book-nya supaya HP yang kita beli tadi dapat digunakan dengan cara yang benar. Kalau tidak, bisa sehari semalam HP tersebut tidak akan bisa segera digunakan.
Kita semua tidak ada yang salah, yang salah biarlah rumput yang bergoyang. Tapi, kita juga tidak rela kalau sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa memandang apa pun posisi seseorang menjadi “buta huruf” tentang konstitusi/UUD 1945, buta huruf akan hukum dan demokrasi. Bagi para penyelenggara negara dan para elite poltik hukumnya menjadi mengerti, paham dan menjalankan konstitusi, hukum, perundangan serta demokrasi.
Bagi warga negara biasa tentu juga harus melakukan hal yang sama. Bagaimana pun kita wajib mengerti dan memahami konstitusi, hukum, perundangan, serta hidup yang demokratis. Semuanya ini penting agar kita tidak gampang membuat stempel sendiri-sendiri kalau ada sesuatu yang tidak tepat dalam menjalankan roda pemerintahan dan kenegaraan, yang buru-buru diberi “stempel” oleh para pembuat “stempel jalanan” bahwa langkah dan tindakan yang dilakukannya “melenceng dari UUD 1945”.
Kita harus proporsional, harus jernih dan penuh kearifan dan kecerdasan dalam menyikapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia, negeri yang kita cintai bersama. Kalau memang belum mengerti benar lakukanlah dengan cara yang bijak dan benar, yaitu mengambil sikap diam, karena kita harus jujur pada diri sendiri bahwa memang kita tidak atau belum tahu.
Sikap yang benar dan bijak yang lain adalah belajar untuk menjadi warga negara yang baik, menjadi elite politik dan pemimpin yang baik, cerdas, dan berkualitas. Belajar tentang konstitusi, belajar tentang hukum dan perundangan dan belajar tentang hidup berdemokrasi di alam dan lingkungan yang demokratis. Pekerjaan para pemimpin dan negarawan yang mungkin lupa belum dijalankan dan ini yang paling urgent “rekonsiliasi nasional”. Insya Allah Indonesia akan menjadi lebih baik. ***