Makna Anggaran Berbasis Kinerja

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SEMANGAT dari kebijakan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU No 17/2003 adalah “anggaran berbasis kinerja. Supaya mudah dimengerti, maka dalam prespektif yang lebih sederhana dapat dimaknai bahwa setiap rupiah yang digunakan harus menghasilkan output tertentu. Misal kalau satuan output-nya adalah jembatan, maka apakah yang demikian sudah bisa dianggap berbasis kinerja?

Secara subyektif maupun obyektif harusnya bisa dianggap belum memenuhi syarat anggaran berbasis kinerja. Sebab output tadi masih harus diuji apakah dilihat dari outcome, dampak dan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Faktor lain juga harus bisa dibuktikan bahwa output tsb (dalam contoh ini adalah jembatan), apakah spesifikasi teknisnya memenuhi syarat dan harga satuannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara pisik maupun dilihat dari cara perhitungan berdasarkan sistem akuntasi keuangan negara,yakni Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP).

Dalam praktek penyelenggaraan keuangan negara, antara yang seharusnya dan kenyataanya selalu tidak seiring dan sejalan. Sehingga menjadi sulit untuk diukur dengan tepat bahwa anggaran yang dipergunakan telah menghasilkan kinerja tertentu,yang dinilai dari aspek output, outcome, dampak dan manfaat, di samping faktor lain seperti sudah disebut di depan.

Artinya kebijakan anggaran berbasis kinerja belum efektif dilaksanakan. Apalagi jika kegiatannya bersifat non fisik, seperti penyelenggaraan seminar, rapat-rapat dll, pasti akan sulit menentukan basis kinerjanya bahwa sejumlah kegiatan rapat-rapat tsb dinilai efektif, efisien dan hasilnya terukur.

Akibatnya sering terdengar istilah kegiatannya hanya bersifat bussiness as usual. Jika hal yang demikian banyak terjadi di setiap tahun anggaran, maka berarti telah terjadi pemborosan penggunaan anggaran. Bukan hanya sekedar pemborosan, tapi boleh jadi bisa disebut telah terjadi pemubaziran penggunaan uang rakyat yang berlebihan dengan akibat lebih lanjut dapat berpotensi terjadinya moral hazard.

Sistem audit yang dilakukan oleh BPK, BPKP maupun oleh aparat pengawas intern pemerintah belum sepenuhnya bisa memposting bahwa anggaran K/L telah berbasis kinerja di dalam laporan hasil audit. Soal kepatutan dan kelayakan penggunaan anggaran saja, rasa-rasanya juga belum maksimal diuangkap dalam setiap laporan hasil audit.

Kalau tidak salah, baru sebatas menilai apakah anggaran telah digunakan sesuai dengan azas kepatuhan dan sesuai dengan SAP dalam pencatatan dan pelaporannya. Status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berdasarkan ketentuan yang berlaku diberikan kepada K/L yang dinilai berhasil mengelola anggarannya sesuai SAP.

Publik jangan terkecoh kalau K/L mendapatkan status WTP, praktek KKN dianggap tidak terjadi di K/L yang bersangkutan. Tidak ada kamusnya yang bisa menjamin bahwa WTP sama dengan bebas KKN karena entitasnya memang beda dalam sistemnya antara entitas sistem akuntasi dan entitas sistem pengawasan dan pengendalian.APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal harus dikelola dengan cermat dan fokus agar konsepnya yang berbasis kinerja benar-benar efektif.APBN sebagai salah satu komponen pembentukan PDB harus benar-benar berperan sebagaimana fungsi pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya harus semakin besar di pos belanja modal.

Tahun 2012, komponen pengeluaran belanja pemerintah mencapai Rp 732,2 triliun terhadap PDB atau sekitar 8,89%. Menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 1,25%, padahal jumlah APBN kita makin tahun makin bertambah besar nilainya, yang pada tahun 2012 telah mencapai 18% lebih terhadap nilai nominal PDB sebesar Rp 8.241,9 triliun berdasarkan harga yang berlaku.

Jika anggaran berbasis kinerja efektif dilaksanakan dan kegiatan yang bersifat business as usual bisa dihapuskan, maka bukan tidak mungkin kontribusi belanja pemerintah dalam PDB bisa mencapai 10% lebih dan menyumbang pertumbuhan 2 persen lebih. WTP sebaiknya dikaitkan langsung dengan capaian kinerja anggaran yang tidak hanya berbasis pada angka capaian serapan anggaran semata, tapi harus berbasis pada kualitas output, outcome, dampak dan manfaatnya sebagai ukuran kinerja anggaran yang secara nyata bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di bidang ekonomi dan di bidang yang lain.

Yang kita butuhkan sebenarnya outcome, dampak dan manfatnya,bukan volumenya. Inilah esensi makna anggaran berbasis kinerja. Kalau tidak seperti itu ukurannya, maka lembaga audit harus berani memberikan opininya bahwa penggunaan anggaran di K/L tertentu sekian persen bersifat business as usual.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS