Korek Api

Loading

Oleh: SM. Darmastuti

ilustrasi

ilustrasi

SEORANG teman menceriterakan betapa menyesalnya dia ketika menolak pemberian orang yang ternyata terbukti sangat berguna. Suatu hari teman saya naik becak dari tempat temannya menuju rumah tinggalnya. Kala itu ongkos becak masih murah, dan telah disepakati ongkos ke rumahnya adalah 2,500 rupiah.

Ketika turun dari becak teman tadi memberikan uang 3,000 yang seharusnya diberi kembalian 500 rupiah. Bapak becak ternyata tidak memiliki uang kembalian karena memang dia baru mengangkut satu penumpang sore itu. Teman yang baik hati itu merelakan uang 500 rupiahnya, dan bapak tua pengemudi becak itu sangat senang. Dia bahkan memberi teman saya sekotak kecil korek api, mungkin sebagai ucapan terimakasih. Teman saya menolak. Apa yang terjadi? Ketika teman saya masuk ke rumah dan menyalakan listrik, ternyata giliran listrik padam. Dia berusaha mencari lilin untuk dinyalakan, tetapi ternyata korek api miliknya telah habis …

“Rasanya saya ingin berteriak mengundang tukang becak itu lagi, Jeng …” dia berceritera sambil tertawa. “Ternyata memang kita tidak boleh menolak pemberian orang lain sesepele apa pun yang diberikan pada kita tanpa mengikat, tanpa pamrih, dan atas dasar kasih.” Demikian dia me-recall lagi pengalamannya dan membandingkannya dengan issue ‘suap’ yang makin merebak di negeri tercinta ini.

“Berlawanan dengan apa yang saya alami, Jeng, rupa-rupanya banyak orang di jaman materialistis ini yang menghalalkan ‘suap’ dengan dalih bahwa orang tidak boleh menolak pemberian orang lain.” Demikian teman saya membuka omong-omong sore itu sambil sesekali menyeruput teh jahe yang saya hidangkan menemani jadah bakar dan tahu bacem kaliurang.

“Mungkin masih sulit bagi mereka membedakan mana pemberian yang murni dari hati, dan pemberian yang sengaja dihadiahkan karena pamrih si pemberi.” Saya mencoba berkilah.

“Itulah gunanya orang memiliki watak bijaksana agar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Tanpa itu, orang akan tersandung-sandung melewati kehidupan di dunia yang makin kompleks ini,” balas teman saya yang kemudian mengingatkan kembali perlu kita sebagai hamba Tuhan selalu sadar kepada Tuhan, agar kita mendapat tuntunanNya, sehingga mempunyai kewaspadaan dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Sepulang teman saya sore itu, saya melanjutkan merenung, mengapa banyak orang tidak memiliki kewaspadaan sehingga mereka terjembab di dunia yang kadang berwarna abu-abu? Jelas jawabannya adalah karena orang tersebut belum melaksanakan ajaran Tuhan dengan baik. Sebenarnya langkah melaksanakan ajaran Tuhan itu ringkas; dengan berusaha selalu sadar, percaya dan taat kepada semua perintahNya sebagai upaya pendekatan kepada Sang Khalik. Kemudian berusaha memiliki budi pekerti yang luhur sebagai bekal bergaul dengan sesama, karena selama bergaul pasti ada yang korslet.

Ketika manusia masih belum berani memutuskan sesuatu, dia sesungguhnya masih dalam tahap keraguan. Dia belum yakin bahwa apa yang akan diputuskan salah atau benar. Ketika keraguan semacam itu berlebih-lebihan, jadilah performance-nya menjadi pribadi ‘peragu dan tidak tegas.’ Ketidaktegasan ini akan berdampak pada stress, karena dia berada pada dua dunia antara ‘ya’ dan ‘tidak.’ Seorang pujangga Inggris menyatakan dalam salah satu wiseword nya: ‘If doubt don’t yang artinya, jika ragu-ragu, lebih baik tidak.

Resep menghilangkan keraguan yang sederhana adalah selalu memohon kepada Sang Maha Penguasa ialah Tuhan semesta alam ini agar selalu dituntun di jalan yang benar. Dengan demikian dengan kewaspadaan, kesadaran dan ketulusan kita dapat menentukan suatu perkara yang kita hadapi benar atau salah. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS