Khawatir Tidak Laku, Perajin Kerupuk Singkong Gunakan Pewarna Tekstil
Laporan: Redaksi
PURBALINGGA, (TubasMedia.Com) – Khawatir produknya tidak laku, para perajin kerupuk singkong di Purbalingga bertahan menggunakan pewarna tekstil. Mereka masih enggan beralih ke pewarna alami atau pewarna makanan. Perajin mengaku trauma karena pernah mencoba menggunakan pewarna makanan, produk mereka malah tidak laku di pasaran.
“Pernah kami menjual kerupuk yang pakai pewarna makanan. Malah dikembalikan lagi. Kami jadi kapok,” ujar Dharmo, seorang perajin kerupuk di Desa Senon, Kemangkon. Hal itu disampaikan saat mengikuti workshop Penggunaan Pewarna Makanan pada Kerupuk Singkong, Kamis (29/8) pekan lalu.
Penggunaan pewarna tekstil juga lebih ekonomis. Satu kilogram pewarna dengan harga Rp 55 ribu cukup untuk satu ton adonan. Sementara penggunaan pewarna makanan alami selain harganya lebih mahal, kebutuhannya juga jauh lebih banyak.
Desa Senon merupakan sentra pembuatan kerupuk singkong di Purbalingga. Ada 39 KK yang menekuni usaha tersebut. Para pengrajin berharap jika memang harus menggunakan pewarna makanan alami, harus diberlakukan juga di daerah lain. “Kalau cuma kami yang pakai pewarna makanan alami, nanti kami akan kalah bersaing,” kata Dharmo
Ketua Tim Pengabdian Masyarakat Jurusan Farmasi FKIK Unsoed, Dadang Wahyu Kurniawan berharap dengan sosialisasi pewarna makanan ini ada pemahaman betapa berbahayanya penggunaan pewarna tekstil bagi kesehatan.
Dadang mengatakan, pewarna tekstil yang digunakan perajin kerupuk termasuk jenis rhodamine-B yang bisa mengakibatkan kanker dan penyakit berbahaya lainnya. Tak hanya bagi konsumen, tapi juga bagi para pengrajinyang bersentuhan langsung dalam jangka panjang.
Petugas farmasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Yuni Dwi mengatakan sosialisasi ini sebagai tindaklanjut atas temuan pewarna tekstil pada makanan saat sidak menjelang hari Lebaran lalu. Pihaknya meminta LPPM Unsoed untuk ikut mengedukasi masyarakat terutama para perajin kerupuk. (joko suharyanto)