Ketika Krisis Perlukah Proteksi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

TAHUN 1998, dunia mengalami krisis dan Indonesia terkena imbasnya, kita nyaris bangkrut karena ekonomi tumbuh negatif. Sepuluh tahun kemudian tahun 2008 terjadi lagi krisis finansial dan alhamdulillah Indonesia tidak terkena dampak yang berarti karena kita berhasil mengelola kebijakan ekonomi dengan baik.

Sekarang zona Eropa dan AS mengalami krisis hutang dan krisis fiskal, tanda-tanda akan segera pulih belum menampakkan diri. Dampaknya secara global mulai terasa dan hari ini media melansir bahwa pertumbuhan ekonomi China mengalami kontraksi signifikan sehingga pertumbuhan ekonominya turun menjadi 7,2%.

Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan yang pada Mei lalu tercatat USD 480 juta. Tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 6,1% dari yang diproyeksikan sebesar 6,7%. Berarti lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2011 yang mencapai 6,5%.

Pilihan kebijakan yang paling tepat ditempuh adalah tentu menjaga momen pertumbuhan itu sendiri agar tidak menimbulkan gangguan yang berarti di dalam negeri. Dan dalam hubungan ini, Bank Indonesia telah menyiapkan remedinya, begitu pula dari sisi fiskalnya. Bagaimana dengan pasar dalam negeri? apa langkah yang sebaiknya dilakukan agar pangsanya tidak diambil negara lain.

Secara kongkrit belum banyak dilakukan atau apa yang direncankan untuk dilakukan. Buktinya dunia usaha masih berharap agar pemerintah mengambil langkah strategis untuk menyiasati dampak krisis Eropa dan AS terhadap industri dalam negeri dan kegiatan ekonomi pada umumnya.

Langkah antisipasi yang perlu dilakukan rasanya tidak perlu kita melakukan tindakan yang bersifat protektif, tapi yang lebih tepat barangkali perlu dilakukan manajemen impor agar barang dan bahan yang masih perlu diimpor tetap dapat dipenuhi dengan cara yang wajar. Terkait dengan ini juga perlu diambil langkah operasi pemberantasan penyelundupan, yang dewasa ini terkesan ada pembiaran sehingga ilegal impor dengan begitu enaknya masuk ke negeri ini.

Pemerintah bersama Kadin secara nyata melakukan gerakan bisnis riil di berbagai kota-kota besar di Indonesia di setiap akhir pekan di satu tempat tertentu yang hanya khusus menjual barang-barang buatan dalam negeri dengan harga bebas pajak (free tax) disaat itu saja. Selama ini yang kita dengar hanya cuap-cuap saja, tidak ada kegiatan riil yang diselenggarakan kecuali hanya pameran-pameran di Jakarta atau ditempat lain diberbagai daerah.

Bisa saja dikombinasikan dengan pameran seperti yang terjadi selama ini, hanya saja perlu diberikan satu bentuk stimulus fiskal berupa free tax. Exhibition and sales free tax selama sepekan. Belanja pemerintah prosedurnya juga makin dipermudah. Bagi produk yang kandungan lokalnya telah mencapai 25% lebih, pemerintah dapat membeli langsung dari sumbernya atau dari pabrikannya langsung (minimal melalui dealernya) yang penting transparan dan akuntukabel.

Pengadaan dengan cara yang semacam ini hampir sulit untuk dilakukan mark up. Contoh pengadaan mobil dinas pemerintah sekarang ini bisa dibeli langsung ke agentnya yang ditunjuk dan harganya sudah pasti. Artinya siapapun tahu bahwa harga Kijang Inova seri V matic nggak mungkin akan dijual dengan harga katakan Rp 500 juta. Kebijakan seperti itu yang disebut bersifat afirmative, ada faktor intervensi pemerintah, tapi dampaknya riil bagi industri yang bersangkutan.

Langkah lain dan ini perlu dilakukan sepanjang waktu, yaitu pemerintah harus melakukan konsolidasi ke dalam untuk terus berbenah agar persoalan high cost economy tak lagi terdengar ditelinga kita. Tahun 80an istilah ini kita dengar. Tahun 90an terdengar lagi, tahun 2000an kita omongin lagi hingga sekarang.

Kalau begini terus terdengar nggak enak rasanya, sepertinya apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah tidak menghasilkan apa-apa dalam kaitan untuk mengefisienkan perekonomiannya. Buktinya dunia usaha masih mengeluhkan soal ini hingga sekarang, berarti sistem birokrasi nasional belum bisa memberikan pelayanan terbaiknya kepada dunia usaha dan masyarakat.

Kesimpulannya adalah bahwa tatkala krisis ekonomi melanda dunia, maka langkah yang patut untuk dilakukan adalah kita harus bersikap bijaksana. Tidak perlu a priori dan secara serentak menjawab bahwa kita perlu menempuh kebijakan proteksi. Problem kita sejatinya tidak disitu, tapi lebih banyak karena efisiensi ekonomi nasional masih belum terlalu tinggi akibat masih high cost.

Bukan proteksi barangkali yang harus dilakukan, tetapi lebih pas kita menggunakan pendekatan manajemen impor dan sambil membenahi persoalan ekonomi di dalam negeri. Yang penting kebijakan yang diambil tepat sasaran dan tepat waktu jangan sampai momennya lewat. Kalau di level makro kebijakan kita okelah tapi, di level kebijakan mikro dan sektoral banyak yang harus diharmonisasikan.

Kebijakan mikro sektoral yang disharmonis juga menjadi penyebab high cost. Semoga ekonomi Indonesia ke depan pertumbuhannya makin sehat, berkualitas dan makin inklusif untuk menjawab persoalan keadilan. ***

CATEGORIES
TAGS