Kebakaran Senantiasa Mengancam Warga Ibukota

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

SELAMA belum ada program memutus mata rantai penyebab kebakaran di Ibukota Jakarta, maka hal itu senantiasa menjadi ancaman dan bahkan menjadi musuh besar bagi seluruh warga. Bila terjadi kebakaran, yang menjadi korban bukan hanya pemilik bangunan, tetapi juga lingkungannya turut menderita dampaknya. Sebanyak 366 keluarga atau 1.400 jiwa yang menghuni 104 rumah di lima RT di Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat, hari Kamis (3/10) lalu, menjadi korban kebakaran.

Mereka kehilangan harta dan tempat tinggal serta hidup terlunta-lunta, karena sebuah pabrik plastik di tengah permukiman ini ludes terbakar akibat hubungan pendek arus listrik. Tata ruang dan penempatan bangunan di Jakarta, tampaknya tidak ada pengaturan yang ketat, dan sama sekali belum diintegrasikan dengan peta penanggulangan bila terjadi kebakaran. Bangunan pabrik (industri) dan permukiman dibiarkan berdiri campur aduk, padahal, menurut data dari Dinas Kebakaran DKI Jakarta, setiap hari terjadi dua hingga tiga kali kebakaran di Jakarta.

Kebakaran yang sering terjadi di Jakarta, memang lebih banyak melanda pemukiman kumuh dan padat penduduk. Di kawasan tersebut melekat berbagai permasalahan sebagai mata rantai penyebab utama kebakaran, seperti jaringan instalasi listrik yang tidak standar dan tidak beraturan, sikap penduduk yang belum sadar akan bahaya kebakaran, bahan bangunan yang rentan terhadap api dan berdempetan, tidak ada alat pemadam kebakaran yang memadai dan tidak tersedia jalur evakuasi bila terjadi kebakaran. Mata rantai penyebab utama kebakaran inilah yang sebenarnya perlu diputus dan diprogramkan untuk dibenahi.

Sebagai Ibukota Negara, Jakarta sudah tentu harus menjadi contoh bagaimana meminimalisasi ancaman kebakaran bagi warganya. Bagaimanapun, kota Jakarta sudah pernah dirintis oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun tujuhpuluhan menjadi pemukiman yang aman, nyaman dan teratur, dengan program perbaikan kampung yang sudah mendapat pujian internasional dan bahkan mendapat bantuan pinjaman berbunga lunak dari Bank Dunia.

Dalam program yang dikenal dengan Proyek Mohammad Husni Thamrin (MHT) ini, jalan-jalan kampung diperlebar agar bisa masuk mobil pemadam kebakaran berukuran kecil, serta memperbanyak hidran atau sumber-sumber air untuk pemadaman api. Proyek MHT ini tidak lagi diteruskan, dan bahkan kampung yang dulu sempat mendapat perbaikan, kini sudah kembali sumpek, kumuh dan rawan bencana.

Upaya memasyarakatkan alat pemadam kebakaran yang praktis di pemukiman padat, seperti jenis pawang geni, merupakan program yang bagus untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengatasi kebakaran di lingkungannya. Alat pemadan api berupa pompa manual yang bisa digunakan di gang-gang sempit ini, pernah diperkenalkan Joko Widodo pada saat kampanye calon Gubernur Jakarta tahun 2012 lalu. Kini Jokowi sudah menjadi Gubernur definitif, tetapi alat pemadam api mini ini belum terlihat difungsikan.

Program penyadaran masyarakat terhadap berbagai penyebab kebakaran, seperti buang puntung rokok sembarangan, membakar obat anti nyamuk, penyalan lilin untuk penerangan sementara, dan kelalaian mengakibatkan kompor meledak, memang harus rutin dilakukan. Namun, untuk sosialisasi program penyadaran masyarakat akan bahaya kebakaran ini, perlu diatur secara organisatoris dan mungkin memerlukan badan tersendiri, setidaknya di tingkat kelurahan, yang jelas pertanggung jawabannya dan dievaluasi tugas-tugas pokoknya secara rutin.

Instalasi Listrik

Namun, sumber penyebab kebakaran yang sering diberitakan, adalah hubungan pendek arus listrik atau korsleting seperti berita di atas dengan modus bermacam-macam. Apakah itu akibat pemasangan instalasi yang asal jadi dan penggunaan kabel-kabel listrik yang tidak standar, ataukah akibat sambungan-sambungan arus listrik yang semrawut, dan stop kontak bertindih-tindih, masyarakat awam tidak semuanya paham akan bahayanya.

Yang jelas, Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang merupakan satu-satunya pemilik sumber daya yang bisa membuat kehidupan nyaman, tetapi juga bisa membuat hidup sengsara itu, harus bertanggung jawab dalam penyaluran dan pengawasan pemakaiannya. Tidak ada alasan menyalahkan warga masyarakat, disebabkan pencurian-pencurian arus. Memang dengan tarif listrik yang terus naik, mendorong pencurian-pencurian oleh oknum warga yang tidak paham terhadap bahaya yang justru lebih besar.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus mensinkronkan tata ruang pembangunan dengan peta penanggulangan bila terjadi kebakaran, seperti penempatan sumber-sumber air (hidran) untuk mobil kebakaran. Perlu pula secara berkala membentuk tim audit untuk mengecek kelayakan teknis fasilitas pemukiman, dan bangunan umum, terutama di kawasan yang rentan kebakaran.

Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan tidak hanya berfungsi mengeluarkan izin, tetapi juga melakukan pengarahan dan pembinaan di lapangan. Demikian juga perluasan fungsi dan tugas Dinas Pemadam Kebakaran yang selama ini hanya memadamkan api, harus ikut menyelidiki dan mencerahkan pengetahuan masyarakat tentang ancaman kebakaran, maupun kepada instansi terkait untuk melakukan koreksi dan koordinasi. Arus listrik yang seharusnya mensejahterakan kehidupan manusia, ternyata telah menghanguskan ratusan miliar dan bahkan triliunan rupiah harta benda masyarakat dengan sia-sia. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS