Kaesang Merintis Jalan Politik yang Lebih Menantang, Bukan Cari Aman

Loading

Oleh: Sutrisno Pangaribuan

DAPAT dipastikan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami defisit kualitas elit politik nasional, termasuk pucuk pimpinan partai politik (parpol). Semula hanya Prabowo Subianto (Prabowo) satu- satunya ketua umum (ketum) parpol yang berani maju sebagai bakal calon presiden (bacapres), selebihnya masih setia menunggu arahan Jokowi.

Namun, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang telah 18 tahun menjadi Ketum PKB dan sejak Pemilu 2019 telah memasang baliho sebagai bacapres di seluruh wilayah, kini cukup puas jadi bacawapres Anies Rasyid Baswedan.

Sementara itu, para ketum parpol lainnya sadar diri dan memilih pasrah menunggu dipinang oleh bacapres, baik untuk menjadi bacawapres atau menjadi ketum tim pemenangan. Semua ketum parpol pro koalisi pemerintahan Jokowi, maupun yang diluar koalisi tidak satu pun yang percaya diri, maju menjadi bacapres maupun bacawapres. Hanya PBB yang berani mengajukan ketumnya, Yusril Izha Mahendra, sebagai bacawapres Prabowo.

Ironisnya, meski Airlangga Hartarto, Ketum Golkar, Menko Perekonomian, Zulkifli Hasan, Ketum PAN, Menteri Perdagangan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum Demokrat, bersama ketum parpol non parlemen berharap dipilih Prabowo sebagai bacawapres, namun justru wajah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, anak ingusan (sebutan Panda Nababan) yang dipasang pendukung Prabowo  pada baliho bersama Prabowo di berbagai daerah.

Berharap dapat dukungan politik dari Jokowi dan keluarganya tidak hanya diinginkan oleh PSI. Parpol lain dalam koalisi pemerintahan Jokowi juga berharap sama, terutama bagi parpol yang terancam tergusur dari Senayan. Namun PSI jujur dan terbuka mengakui bahwa satu-satunya harapan untuk lolos parliamentary treshold (PT) ada pada dukungan politik Jokowi dan keluarganya.

Alasan tersebutlah yang membuat PSI bolak-balik datang ke Solo, merayu Gibran dan Kaesang, agar bergabung dengan PSI. PSI lebih jujur dari rekan barunya, Gerindra dalam memanfaatkan relasi politik dengan Jokowi. Gerindra justru lebih vulgar mengeksploitasi wajah Jokowi dan Gibran yang dipajang bersama Prabowo dalam baliho di berbagai daerah.

Sebagai faktor yang dianggap memberi energi tambahan, maka sangat wajar jika PSI memberi karpet merah bagi Kaesang, hingga muncul tawaran menggantikan Giring sebagai Ketum PSI.

Membawa Gerbong

Tawaran tersebut sangat masuk akal, sebab jika diberi posisi Ketum PSI, Kaesang pasti akan membawa gerbong memperkuat PSI, dengan mengajak rekan bisnisnya, Raffi Ahmad, hingga komedian Kiki Saputri. Langkah Kaesang juga pasti akan didukung dan diikuti oleh para staf dan karyawan sejumlah perusahaannya.

Kaesang merintis jalan politik yang lebih menantang dengan memilih partai yang hingga saat ini tegak lurus kepada Jokowi dan lebih mirip sebagai “relawan Jokowi” .dibanding masuk partai besar, seperti PDIP. Kaesang menyadari bahwa PSI lebih membutuhkan dirinya dibanding partai bapaknya, Jokowi, Gibran dan Bobby.

Jika Kaesang menjadi Ketum PSI, maka Kaesang akan terlibat dalam rapat bersama pimpinan partai koalisi pemerintahan Jokowi, seperti Megawati Soekarnoputri, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, Mardiono, Surya Paloh, Oesman Sapta.

Pilihan dan langkah politik Kaesang, sesungguhnya sebagai peristiwa politik biasa khas Indonesia pasca reformasi, dimana parpol semakin kehilangan arah, tujuan dan orientasi politik. PSI yang semula mengklaim sebagai partai anak muda, dengan tagline partai anti korupsi dan anti intoleransi, kini kehilangan arah ketika menyandarkan diri hanya kepada Jokowi. Bahkan saat ini, Kaesang diposisikan lebih besar dari PSI, yang dianggap sebagai juru selamat.

Dalam dinamika politik nasional pasca bergabungnya Kaesang ke PSI, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

Pertama, langkah politik Kaesang bergabung dengan PSI sebagai pilihan politik biasa yang “berbeda” dengan langkah Jokowi, Gibran dan Bobby.

Kedua, upaya cari muka PSI kepada Jokowi melalui Kaesang, sah dan wajar. Maka jika PSI kemudian menjadikan Kaesang sebagai ketum adalah pilihan paling tepat dan realistis bagi PSI.

Kader Sendiri

Ketiga, hak politik setiap warga negara sebagai hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Maka pilihan politik Kaesang tidak perlu dipersoalkan apalagi dikaitkan dengan parpol bapaknya Jokowi dan kakaknya, Gibran dan Bobby.

Keempat, proses kaderisasi dalam parpol tidak berjalan dengan baik hingga akhirnya parpol lebih memilih merekrut orang- orang yang populer untuk menjadi pemimpin daripada kader sendiri.

Kelima, Kaesang tidak memiliki kewajiban mengikuti pilihan politik dan afiliasi politik bapaknya, Jokowi dan kakaknya, Gibran dan Bobby.

Keenam, dibutuhkan parpol sebagai tempat kaderisasi orang-orang biasa, seperti Jokowi sebelum menjadi Walikota Solo, sehingga orang- orang biasa tetap memiliki kesempatan menjadi presiden seperti Jokowi yang bukan anak dan menantu presiden.

Ketujuh, bahwa masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh kesadaran politik orang-orang biasa yang secara kuantitas lebih besar. Konsolidasi demokrasi orang- orang biasa yang berkualitas lebih menjamin Indonesia maju dibanding tersandera kepada pemimpin yang lahir prematur, instan, dan hanya karena memiliki privilege.

Kornas terus bergerak mendorong Pemilu 2024 yang berkualitas tinggi dan memberi harapan baru bagi Indonesia. (Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional Kornas, tinggal di Jakarta)

 

 

 

 

 

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS