Jika Elit Politik Memburu Rente Bersama Para Invisible Hand Asing

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

DALAM politik ekonomi yang sistemnya liberal yang mengandalkan bekerjanya mekanisme pasar, ternyata hanya ada dalam text book. Realitas pasar ternyata tidak mampu bekerja pada kondisi penuh. Mekanisme pasar sudah dipandang sebagai sesuatu yang tidak pasti dan tidak mungkin, karena yang istilahnya invisible hand benar-benar telah bekerja, namun perilakunya lebih banyak menghasilkan distorsi.

Persaingan sempurna juga tidak pernah ada, yang ada hanya persaingan yang tidak pernah sempurna karena kerja invisible hand yang justru selalu mendistorsi pasar. Kerja para invisible hand ini pada dasarnya adalah kerja politik global, regional maupun nasional yang tidak pernah bebas kepentingan.

Invisble hand sebagaimana dikehendaki oleh Adam Smith yang bekerja untuk mengelola keuntungan individual dan memaksimalkan kesejahteraan rakyat ternyata hanya ilusi. Invisible hand seperti yang dimaksudAdam Smith sebagai bukan ciptaan seseorang, melainkan terbentuk dengan sendirinya oleh bekerjanya hukum-hukum alam atau lebih spesifik hukum pasar lagi-lagi hal yang demikian hanya pandangan yang bersifat filosofis saja.

Praktek-praktek korporatokrasi asing hingga sekarang masih terjadi, baik di Indonesia maupun di negara lain. Negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah akan dijadikan sapi perahannya. Praktek ini sudah banyak dibicarakan secara terbuka di negeri ini, terutama dalam soal penanganan industri migas dan tambang.

Bahkan dengan memanfaatkan kelemahan yang dimiliki negara ini, ada indikasi bahwa praktek korporatokrasi gaya baru akan merambah ke sektor pangan. Invisible hand di tingkat elit sedang bekerja. Berunding di forum-forum bergengsi seperti WEF, G20 atau forum-forum lain di IMF, World Bank dan WTO untuk saling bertukar pandang atas nama win-win condition.

Jangan mudah percaya dengan stigma ini karena dalam kenyataannya masih saja terjadi zero sum game. Prakteknya diwujudkan melalui kerjasama ekonomi internasional,tapi di balik itu ada misi untuk menguasai aset produktif milik negara mitra dialognya. Praktek politik pragamatis transaksional seperti yang dilakukan oleh elit politik di negeri ini adalah lahan yang empuk untuk menjadi pintu masuk bagi bekerjanya praktek korporatokrasi di Indonesia.

Kita tahu hasilnya, ekonomi Indonesia sebagian besar telah dikuasai asing. Pertanyaanya mau kita apakan kondisi yang sudah seperti ini. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Apa mungkin bisa dilakukan renegosiasi agar kepentingan nasional kita tidak dijadikan sapi perahan karena ulah sebagian dari elit politik yang “melacurkan” diri menjadi para pemburu rente dan bekerja sama dengan para invisible hand asing yang berburu aset mahal di negeri ini.

Hadirnya Freeport Mc Moran yang nyata-nyata “merampok” kekayaan alam milik rakyat, pemerintah tak berdaya melakukan renegosiasi kontrak. Begitu pula terhadap yang sudah di depan, yaitu soal perpanjangan kontrak atas blok Mahakam. Pertanyaannya yang lebih mendasar adalah apakah bangsa dan negara ini punya nyali dan niat untuk bekerja bersama-sama mengurai benang ruwet untuk menata kembali sistem ekonomi nasional seperti yang dikehendaki oleh konstitusi UUD 1945.

Jawabnya sederhana, harus bisa, meskipun tidak mudah karena praktek kerja politik kotor yang selama ini berjalan tidak akan mudah dihabiskan. Kita khawatir dan was was, praktek kerja politik kotor akan terus diwariskan entah sampai kapan akan berakhir tidak bisa diprediksikan.

Tapi kita harus bisa bangkit dengan menggunakan energi dari dalam dengan tujuan untuk membangun kemandirian dan ekonominya menjadi bersaing. Indonesia sampai hari ini menjadi mata rantai yang terlemah dalam arus globalisasi yang faktor persaingannya ketat. Indonesia memerlukan sebuah kebijakan yang kuat di segala bidang karena infiltrasi asing sudah bukan hanya terjadi di bidang ekonomi saja tetapi juga terjadi di bidang politik, budaya dan di bidang yang lain. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS