Istana Merespons, Tax Amnesty Untuk Repatriasi Aset WNI di Luar Negeri
Oleh : Fauzi Aziz
KALIMAT yang jadi judul tulisan ini dikutip dari running text TV swasta. Mari kita coba pahami konteksnya. Presiden meminta Menteri Keuangan mengklarifikasi adanya tagar(#) “Stop Bayar Pajak”. Pada sisi lain, ada running text mengatakan bahwa tax amnesty dimaksudkan untuk menarik aset WNI di luar negeri, direpatriasi ke dalam negeri. Bila ini benar, maka kutipan pendek yang dijadikan running text tersebut juga bukan merupakan good news karena realitasnya tax amnesty juga diberlakukan bagi WNI di dalam negeri.
Kedua berita running text tersebut baik-baik saja. Tetapi, jika kita cermati keduanya memberikan indikasi bahwa pemerintah khawatir dan tidak menduga respons masyarakat melalui sosmed menjadi bersikap kontraproduktif. Bila benar bahwa tax amnesty prioritas utamanya adalah menarik aset WNI di luar negeri agar pulang, maka penjelasan “istana” (jika benar) seperti yang ada di running text menjadi pertanda ada “kepanikan” pemerintah dalam merespons reaksi masyarakat.
Respons tax amnesty oleh sebagian masyarakat di dalam negeri telah terlanjur negatif, yakni mengganggu rasa keadilan masyarakat, sehingga pemerintah perlu sabar dan sebaiknya penjelasan-penjelasan berikutnya dilakukan oleh pihak otoritas yang kompeten dan kredibel. Yang pengetahuannya terbatas tentang tax amnesty sebaiknya tidak ikut memberikan penjelasan yang akhirnya bisa membuat blunder.
Di running text muncul lagi pernyataan Dirjen Pajak yang mengatakan bahw tax amnesty bukan suatu kewajiban, tetapi dianjurkan. Pernyataan ini juga makin memberikan legitimasi bahwa sebenarnya pemerintah belum mempunyai pemahaman yang sama tentang tax amnesty.
Penulis tidak yakin yang ngomong di media sudah paham akan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang tersurat dan tersirat beserta aturan pelaksananya, sehingga Selasa pagi, 30 Agustus 2016, muncul lagi headline berita nasional berjudul, “Pemerintah Tidak Berniat Menakut-nakuti Rakyat”. Pada 30 Agustus 2016, penulis mempunyai tiga catatan menyangkut pemberitaan yang cukup menarik, yakni, “Tax Amnesty bukan suatu kewajiban, tetapi dianjurkan”. Ada lagi, “Pemerintah tidak berniat menakut-nakuti rakyat”. Ada lagi yang menggelitik, “Semua masyarakat, tanpa kecuali diwajibkan mengikuti pengampunan pajak.” Orang tidak salah, kok harus minta ampun?
Apa yang kita tangkap dari berbagai catatan dalam pemberitaan, maka satu kesimpulan umum yang dapat dicatat bahwa kebijakan tax amnesty telah memunculkan respons negatif, tidak konstruktif, dan tidak produktif. Tercatat pula bahwa kesan yang muncul pemerintah “kesusu”, ingin cepat melaksanakan tax amnesty, padahal kesiapan pelaksanaannya membutuhkan waktu yang cukup. Sosialisasi berjalan dalam suasana trial and error.
Pemerintah seperti sudah percaya diri bahwa negara akan dapat menambah pemasukan pajak Rp 165 triliun dan dana repatriasi sebesar Rp 1.000 triliun hingga Maret 2017. Hingga kini, uang tebusan yang masuk per 29 Agustus 2016 baru mencapai Rp 2,42 triliun dari target sebesar Rp 165 triliun. Kita belum tahu berapa triliun dana repatriasi yang sudah masuk dari target Rp 1.000. Karena tax amnesty, menurut Dirjen Pajak, bukan kewajiban, tetapi hanya anjuran, maka di prakteknya bisa terjadi pajaknya dibayar karena tarifnya rendah, tetapi dananya tidak balik kampong, karena yang penting sudah dideklarasikan, dan repatriasinya boleh pulang boleh tidak, karena sifatnya anjuran.
Semoga Indonesia tetap menarik bagi investor yang akan menanamkan modalnya dan sebaiknya kebijakan apa pun di negeri ini jangan lagi dibuat secara trial and error. Analisis kebijakan perlu dilakukan mendalam, begitu pula evaluasinya. Nilai tukar rupiah belum bisa stabil, dan ini pertanda iklim investasi belum kondusif. *
Penulis adalah pemerhati masalah social, ekonomi, dan industry