Investor Atau Spekulan

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

DUNIA yang serba terbuka dan serba elektronik dalam melakukan interaksinya selama 24 jam tanpa henti dibikin sibuk oleh dua aktor utama dalam ekonomi uang, yaitu investor dan spekulan. Judul artikel ini sengaja dibuat sedemikian rupa dalam dua demensi, yaitu “Investor ataukah Spekulan”.

Secara harafiah sebenarnya mengandung makna yang berbeda. Tapi dalam praktek perdagangan di pasar uang dan pasar modal, kedua aktor tersebut pada dasarnya sama, yaitu investor karena kehadiran mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melipatgandakan nilai aset yang dimiliki pada kurun waktu tertentu.

Mereka selalu berharap mendapatkan gain dan imbal hasil (yield) dari investasi yang dilakukannya. Begitu tingkat keuntungannya dinilai tidak menarik lagi, maka mereka akan meninggalkan begitu saja tanpa permisi ke pasar uang atau pasar modal di negara di mana mereka melakukan investasinya dan kemudian pindah ke negara lain yang pasar uang dan pasar modalnya dinilai cukup menarik untuk menangguk keuntungan.

Kedudukan mereka inilah yang sekarang oleh hampir seluruh negara di dunia dianggap penting. Kehadirannya di suatu negara selalu dinomorsatukan dan disambut dengan gelaran karpet merah oleh otoritas moneter dan fiskal, serta oleh para pengelola pasar uang dan pasar di suatu negara.

Dengan rasa percaya diri yang tinggi, para petinggi di otoritas moneter dan fiskal berusaha keras memanjakan mereka dengan berbagai instrumen kebijakan, yaitu pengendalian inflasi, nilai tukar dan suku bunga untuk menjaga stabilitas makro perekonomiannya agar mereka betah dan tidak mudah kabur.

Dengan cara ini kepercayaan diri si penguasa otoritas moneter dan fiskal di suatu negara akan makin tinggi manakala perusahaan pembuat rating seperti Standard dan Poor’s, Moodys mengumumkan hasil peringkat sebagai negara dengan status investment grade. Perasaan semua petinggi negara berbunga-bunga dengan penuh bangga bahwa negerinya telah berhasil mengelola ekonomi makronya dengan sangat proper dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Semuanya menjadi terlena dan asyik bahwa keberhasilan tersebut memang diakui ada, tetapi cara memanjakan mereka jangan sampai berlebihan karena dalam perekonomian, yang berhak hidup bukan hanya mereka yang saban hari, saban menit berpikir untung. Tapi negara juga harus secara proporsional memikirkan hal lain, bagaimana investor di sektor riil dapat tumbuh subur di suatu negara seperti Indonesia yang tingkat kemiskinan dan penganggurannya masih relatif tinggi.

Masyarakat kita harus dipersiapkan menjadi masyarakat yang produktif dan harus dijauhkan dari sikap yang konsumtif dan spekulatif. Berapa pun tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat meningkat dari waktu ke waktu, jangan dididik masyarakat kita menjadi masyarakat yang konsumtif dan spekulatif. Meskipun belum ada penelitian tentang dampak ekonomi uang terhadap kehidupan masyarakat di suatu negara, tapi ada indikasi kuat bahwa masyarakat mulai terjangkit dan ikut-ikutan menjadi investor di pasar uang dan pasar modal, meskipun kecil-kecilan. Padahal mereka ini tidak banyak tahu apa itu pasar uang dan pasar modal.

Di benak mereka yang terpikir adalah untung cepat, daripada membuat barang dan menjual barang. Boro-boro untung laku pun belum tentu. Sikap lain yang terbentuk adalah mereka ini menjadi “malas”. Bagaimana tidak! Wong tenguk-tenguk di rumah hanya bermodal laptop, dia bisa mengikuti perkembangan pasar setiap saat tanpa harus repot, keuntungan bisa diraih setiap waktu.

Gambaran ini menunjukkan bahwa kemajuan pesat pada sistem ekonomi uang telah berdampak “negatif” bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Pasar uang dan pasar modal karena suka dipakai spekulasi para pemainnya yang notabene mengandung unsur gambling, maka media ini juga bisa dipakai tempat untuk melakukan “pencucian uang” dari hasil korupsi mau pun yang berasal dari mafia bisnis narkoba.

Pasar uang dan pasar modal dengan demikian dapat dianggap tempat berputarnya uang halal dan uang haram campur aduk dalam satu sistem di mana negara memfasilitasinya dengan gegap gempita. Ini efek yang paling buruk yang patut diwaspadai. Di sisi lain, pasar uang yang berkembang pesat justru menjadi tantangan yang sangat berat bagi calon wirausahawan baru yang menggeluti pengembangan usahanya di sektor riil yang produktif.

Sebagai emerging economy, sebaiknya Indonesia tidak terjebak ke dalam pusaran pasar uang dan pasar modal yang magnitude-nya begitu besar ke arah tindakan bersifat spekulatif dan bahkan memberikan insentif yang berlebih. Kita didik dan kita persiapkan masyarakat kita untuk menjadi investor melalui progam pengembangan kewirausahaan yang masif. Karena itu, kemudahan dan insentif seharusnya diberikan kepada mereka karena investasinya bersifat produktif dan tidak spekulatif.

Instrumen moneter dan fiskal harus dikelola dengan baik untuk memfasilitasi bangkitnya wirausaha baru di sektor produktif untuk menyiapkan calon-calon investor sejati, bukan investor yang spekulatif.

Negeri ini memerlukan investor sejati dalam jumlah banyak untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Mari kita didik bangsa ini menjadi INVESTOR SEJATI dan bukan menjadi SPEKULAN yang bersifat GAMBLING. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS