Investasi dan P3DN

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

AMERIKA Serikat dan Zona Eropa yang selama ini dipandang sebagai pemegang hegemoni ekonomi dan militer di dunia belum berhasil memulihkan perekenomiannya seperti sediakala. Padahal di zaman keemasannya, mereka menjadi pengerek pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang di belahan dunia yang lain.

Di Asia, para penikmat utamanya adalah China, Jepang, Korsel, India dan negara-negara lainnya. Hari ini mereka mengalami kontraksi pertumbuhan ekonominya akibat lesunya perekonomian di AS dan Zona Eropa. China sebagai contoh yang selama ini selalu menikmati pertumbuhan tinggi (9-10% per tahun) terpaksa terkoreksi cukup besar, yakni hanya sekitar 8%.

Indonesia karena ekonominya tidak terlalu bergantung pada kegiatan para ahli berpendapat tidak terlalu terpengaruh resesi yang dialami oleh AS dan Zona Euro. Ekonominya tumbuh rata-rata 6% per tahun. Namun demikian, karena harga komoditas yang belum beranjak membaik di pasar dunia, akhirnya Indonesia juga mengalami masalah dalam neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Kontribusi masing-masing terhadap PDB adalah 55% dan sekitar 33%. PDB nominal pada tahun 2012 mencapai sekitar Rp 8.241 triliun dan dengan demikian menyebabkan PDB per kapitanya dapat mencapai sekitar Rp 33 juta/tahun. Angka ini yang oleh para ahli ekonomi menyebut bahwa Indonesia masih diuntungkan oleh kekuatan pasar dalam negeri yang pengeluaran belanja konsumsi masyarakatnya mencapai Rp 4.000 triliun lebih dan pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 5.000 triliun.

Akibatnya para pebisnis global memandang Indonesia dari dua sisi, yakni menjadi tempat yang subur untuk berinvestasi dan pada sisi yang lain adalah pasar potensial bagi pebisnis yang ingin meraup keuntungan di negeri ini. Melihat fenomena ekonomi yang seperti itu, harus ada manuver kebijakan ekonomi yang tepat agar Indonesia di negerinya sendiri tidak hanya menjadi gudangnya para importir atau pedagang internasional,tetapi juga harus menjadi pusat produksi.

Karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang lebih pro kepada investasi ketimbang pro terhadap usaha jasa perdagangan.Trend yang sekarang terjadi nampaknya usaha jasa pergudangan cukup diminati oleh para investor asing/domestik. Mereka dengan memanfaatkan fasilitas pabean berupa penangguhan bea masuk dan PPN impor dapat memasukkan barang impor tanpa harus melakukan prosesing sudah dapat menjual produknya di wilayah pabean Indonesia.

Kalau pemerintah concern terhadap masalah pengentasan kemiskinan dan pengangguran, maka fasilitas fiskal yang justru patut diberikan adalah kemudahan bagi investor yang akan mengembangkan investasinya di sektor industri manufaktur. Arahnya seperti yang telah menjadi perhatian Kemenperin adalah progam hilirisasi yang manfaatnya diharapkan dapat memperkuat struktur industri dan secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku/penolong dan barang modal.

Logikanya industri-industri yang layak diundang masuk melalui dukungan kebijakan investasi yang kondusif adalah yang menghasilkan bahan baku/penolong, barang modal dan komponen atau suku cadang. Jika berhasil, maka sejatinya progam investasi yang dijalankan telah beririsan langsung dengan pelaksanaan progam P3DN yang kalau kita telaah lebih mendalam sejatinya progam P3DN tersebut memiliki misi utama untuk melakukan substitusi impor.

Mensubtitusi impor bahan baku/penolong, barang modal, komponen/suku cadang dan juga mensubtitusi impor barang jadi/barang konsumsi. Oleh sebab itu, kebijakan investasi dan P3DN tidak bisa disusun secara terpisah, harus terintegrasi ke dalam satu sistem kebijakan ekonomi nasional.

Hambatan ini lebih bersifat kultural dan perubahan gaya hidup atau secara politis bisa disebut ada persoalan nasionalisme konsumen yang rendah. Jujur harus dikatakan kalau P3DN hanya fokus mengoprak-oprak agar masyarakat mau menggunakan produk lokal, sebenarnya substitusi impor yang bisa dilakukan nilainya hanya sekitar 10% dari total impor Indonesia.

Tapi kalau daya jangkau P3DN akan mensubtitusi impor bahan baku/penolong nilainya cukup besar, mencapai sekitar 70% dari total impor dan barang modal sekitar 15-20%. Yang justru memboroskan penggunaan devisa pada dasarnya sektor industri itu sendiri karena tiap tahun harus mengimpor barang dan bahan dalam jumlah yang besar.

Tapi jangan pula dinafikkan bahwa P3DN harus bisa menangkap peluang pengeluaran belanja konsumsi masyarakat yang nilai mencapai sekitar Rp 4.000 triliun pada tahun 2012 dan sekitar Rp 5.000 triliun pada tahun 2013. Dari strategi marketing, daya beli masyarakat konsumen yang sebagian besar terdiri dari golongan kelas menengah ke atas adalah captive market yang memang harus digarap secara sistemik baik oleh pemerintah maupun dunia usaha.

Kedatangan turis manca negara adalah salah satu buyers potensial yang patut dimanjakan di dalam negeri, meskipun Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif hanya memproyeksikan sebesar 8-10 juta pengunjung. Bandingkan dengan Thailand yang mencapai sekitar 21 juta wisman. Product, price, place dan promotion! bahkan advokasi dan edukasi harus menjadi perhatian utama.

Di DKI, Jabar dan tempat-tempat lain di Indonesia masyarakat kita wajib diberi tahu dimana pusat-pusat penjualan produk lokal dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Tahiland,Vietnam dan dibeberapa negara lain.

Dengan adanya opini ini, kita harapkan bahwa apapun yang akan kita capai untuk membangun perekonomian bangsa yang kebetulan Indonesia dikaruniai Tuhan jumlah penduduk yang besar dan kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia, maka kebijakan ekonomi yang harus digarap secara komprehensif adalah menyangkut kebijakan investasi dan kebijakan P3DN yang arahnya untuk melakukan substitusi impor dalam arti luas, memanjakan turis wisman dan wisdom di dalam negeri dan melakukan progam P4(Product, Price, Promotion, Place) secara efektif di lapangan.

Selain itu, progam advokasi dan edukasi harus gencar dilakukan untuk membangun nasionalisme konsumen Indonesia yang dewasa ini sudah sangat global mindset banget dan impor minded, khususnya golongan kelas menengah ke atasnya. Jika semua progam itu dapat kita jalankan secara konsisten dan bebas distorsi, maka Indonesia benar-benar akan dapat menjadi pusat produksi dan distribusi bagi pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor.

Negara ini tidak akan selalu digangguan oleh kekhawatiran adanya ancaman terhadap posisi neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS