Indonesia Menjadi Negara Industri yang Tangguh, Mampukah ?

Loading

1745353620X310

Oleh: Fauzi Aziz

BANGSA ini kini sedang dipandu untuk menjadi negara industri yang tangguh. Pernyataan ini tersurat dalam dokumen Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) sebagaimana dituangkan dalam PP nomor 14 tahun 2014. RIPIN lahir dari amanat UU nomor 3 tahun 2014 tentang perindustrian.

UU ini dapat dipastikan sebagai bentuk keputusan politik dan sekaligus dapat difahami sebagai politik ekonomi nasional dimana industrialisasi sebagai penggerak utama ekonomi. Secara legal formal, Indonesia telah memiliki politik industri yang akan dilaksanakan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat hingga tahun 2035, dimana Indonesia diharapkan menjadi negara industri tangguh pada tahun itu.

Dalam lintasan sejarah politik ekonomi Indonesia, paling tidak selama orde baru, industrialisasi di Indonesia dimulai para pedagang yang notabene kegiatan perdagangan saat itu banyak dilakukan konglomerat. Menurut pandangan almarhum Eky Syachrudin, perkembangan konglomerasi di Indonesia ditentukan beberapa faktor. 1) Adanya semangat kewirausahaan. 2) Jaringan dan leverage bisnis dan politik sebagai cara di luar kebiasaan termasuk KKN. 3)Terbukanya fasilitas regulasi dan legitimasi dari birokrasi. 4) Leluasanya perolehan sumber dana dari perbankan, pemerintah dan lembaga keuangan nonbank. 5) Jaringan bisnis internasional. 6) Berpangku tangannya dukungan masyarakat politik terhadapnya.

Industri nasional terkait dengan perkembangan konglomerasi saat ini mulai terbangun saat itu dan mereka dengan konsesi dan legitimasi dari birokrasi yang dijamin dengan proteksi yang ketat, memulai usahanya bergeser menjadi pemain di industri pengolahan barang-barang yang diperdagangkan.

Ketika kegiatan impor bisa dikerjakan, mereka kembangkan menjadi substitusi impor dan terus menuju ke industri orientasi ekspor. Apa proses ini salah. Tentu tidak. Yang salah adalah industri nasional yang terlahir kala itu tidak efisien karena lahir akibat rente ekonomi, proteksi dan monopoli.

Sekali lagi bisnis industri yang tumbuh dalam era konglomerasi, besar karena fasilitas. Tidak tumbuh dalam satu lingkungan tekno ekonomi dan kewirausahaan  yang bersifat netral, tetapi mengkait dengan unsur-unsur non tekno ekonomi, yakni yang bermuatan KKN. Celakanya ini terjadi di sektor industri hulu dan antara di sektor industri petrokimia dan industri besi baja.

Kalau proses pelaksanaan politik ekonomi dan politik industrinya kala itu benar, tatanan struktur industri yang terbentuk pasti sudah kuat. Bahkan penulis membayangkan antara tahun 70-an hingga sebelum krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia seharusnya telah memiliki industri petrokimia dan industri baja terbesar di dunia.

Bahkan industri komponen akan berkembang pesat kala itu. Kolaborasi antara pemerintah dan dunia bisnis di mana-mana terjadi di negara manapun. Namun menjadi masalah ketika kolaborasi berubah menjadi “perselingkuhan” yang melahirkan budaya KKN.

Pada masa lampau, industrialisasi terbangun dalam lingkungan KKN, sehingga high cost economy melilit hampir semua industri hulu dan antara yang tumbuh kala itu sehingga tidak bisa beroperasi dengan efisien. Momentum untuk menjadi industri nasional berstruktur kuat dan dalam, gagal terwujud sehingga sampai sekarang Indonesia menjadi pengimpor bahan baku/penolong, komponen dan suku cadang yang besar.

Politik ekonomi dan industri yang dimulai rezim SBY dan berlanjut ke rezim Jokowi, pembangunan industri nasional diarahkan kembali untuk membangun industri hulu dan antara dengan jargon hilirisasi industri. Sehingga bisa dikatakan memulai dari nol kembali dimana tema-tema pembangunan industri masih bergaung dalam satu semangat penguatan dan pendalaman struktur industry dan mengurangi ketergantungan impor.

Maknanya,  kalau dibaca dari wawasan strategis, Indonesia memulai lagi dengan pola substitusi impor dan sambil melaksanakan strategi promosi ekspor. Artinya, Indonesia menggunakan double strategy dalam melaksanakan pembangunan industrinya. Inilah selintas politik ekonomi dan politik industri nasional yang telah menjadi keputusan politik nasional.

Apa bisa jalan. Tentu harus dilaksanakan karena telah menjadi keputusan politik yang bersifat mandatory dan binding. Tinggal bagaimana pemerintah menjalankan  politik industri tersebut bersama dunia usaha, wirausahawan muda/star-up industri dan masyarakat yang menggunakan standar ganda baik melalui substitusi impor dan promosi ekspor dalam melaksanakan industralisasi dan hilirisasi. (penulis adalah pemerhati masalah sosial,ekonomi dan industri).

 

CATEGORIES
TAGS