Hanya Kaum Primitif yang Suka Gunakan Kekerasan

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

KALAU tidak ingin dipredikatkan sebagai kaum primitif tentu saja jangan lakukan tindakan kekerasan apalagi sampai menganiaya. “Hanya kaum primitif yang suka menggunakan kekerasan. Sebab perilaku kekerasan hanya milik orang-orang yang tidak mau lagi menggunakan akal dan budi pekertinya sebagai mahluk sosial. Itu berarti tak ubahnya kita hidup masih di era zaman batu,” tutur Prof. Hotman Siahaan memberi sorot atas perilaku kekerasan yang masih kerap terjadi di semua lini kehidupan masyarakat “lepas” bahkan di lingkungan masyarakat uniform.

Percakapan Tubas via telepon dengan sosiolog yang juga Guru Besar di Universitas Air Langga (Unair) Surabaya itu lebih lanjut mengisyaratkan, saatnya bangsa ini kembali pada jati diri masing-masing lalu “menggugat” hati nuraninya dengan satu acuan pertanyaaan “Apakah diri saya ini masih ada manfaatnya bagi orang lain..?”.

Senada “gugatan” sang profesor itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nirkholis Hidayat mengkritisi Polisi dan Jaksa karena tercatat masih menjadi pelaku utama kekerasan yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran hak sipil dan politik.

Minusnya akuntabilitas dalam penggunaan otoritas yang dimiliki membuat aparat penegak hukum tersebut terkadang sewenang-wenang. Kritikan itu diungkapkan saat memaparkan laporan hak asasi manusia dan akses atas keadilan pada Semester I-2012 Kamis pekan lalu. Temuan kekerasan itu nyata pada kasus-kasus yang ditangani LBH Jakarta dalam kurun waktu tersebut.

Diungkapkan, LBH Jakarta menerima pengaduan sebanyak 530 kasus sepanjang Desember 2011-Mei 2012. Dari jumlah itu pencari keadilan yang bisa dibantu LBH Jakarta mencapai 6373 orang.

Fakta kekerasan yang terjadi dikalangan masyarakat uni form itu benar adanya. Mata telanjang telah diperlihatkan oleh majelis hakim PN Jakpus baru-baru ini memvonis bebas tukang ojek yang dituduh terlibat perampokan, faktanya polisi salah tangkap.

Kendati Maruli SH selaku kuasa hukum Hasan Basri (Hasan) yang menjadi pesakitan meminta agar Polres dan Kejari Jakpus meminta maaf atas tindakannya namun budaya luhur permohonan maaf itu belum juga terjadi. Begitu juga permintaan untuk mengganti kerugian sebagai tukang ojek delapan bulan ditahan, bisa jadi kemungkinan dikabulkan jauh panggang dari api. Hasan sempat mendekam di tahanan selama 8 bulan.

“Menghukum para anggotanya yang terlibat baik secara langsung mau pun secara tidak langsung dalam kasus salah tangkap dan rekayasa kasus terhadap Hasan,” tulis kuasa hukum Hasan, Maruli SH dalam siaran pers yang diterima tubasmedia.com, Kamis lalu.

Kasus ini bermula saat polisi menangkap Hasan. “Tak ada hujan tak ada angin” sekitar pukul 20.00 WIB Hasan diciduk sejumlah polisi ke Polsek Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan, dijebloskan ke sel tahanan Polsek Menteng kemudian dipindahkan ke Rutan Salemba.

Menurut Hasan, di markas Polsek Menteng dia dipaksa dan dipukuli dadanya, agar mengakui tuduhan polisi. Setelah melalui persidangan lebih kurang selama 6 bulan, Hasan akhirnya divonis bebas pada 20 Juni 2012 oleh ketua majelis hakim Purwono Edi Santosa SH karena tidak bersalah dan tidak tebukti terlibat perampokan fatalnya lagi polisi salah tangkap.

Hasan seorang tukang ojek yang biasa mangkal di Lapangan Banteng ditangkap pada 9 November 2011. Dia dituduh merampok di sebuah kamar kos yang terletak di Jalan Waja VII No.9 RT.01 RW.02 Kelurahan Harapan Mulia Kemayoran Jakpus pada 14 Oktober 2011.

Terdakwa lain dalam kasus ini sudah menyatakan, Hasan bukanlah pelaku perampokan. Namun kesaksian ini tidak digubris oleh polisi. Bahkan dalam persidangan sebelumnya Husni pemilik rumah kos tempat Hasan tinggal dan temannya sesama tukang ojek, juga menegaskan, saat kejadian, Hasan bapak dua anak itu sedang berada di rumah kos bersama keluarganya.

Penderitaan serupa, sebelum menimpa Hasan, juga dialami oleh Sahari Ramadhan alias Koko. Ironisnya bocah usia belasan tahun ini dituduh “paksa” telah mencuri sebuah laptop di sebuah rumah warga Depok Jabar.

Koko bersyukur kekerasan psikhis itu akhirnya berakhir pada 10 Agustus 2009 menyusul putusan ketua majelis hakim Suparman SH di PN Cibinong membebaskan Koko dari seluruh dakwaan jaksa yang ternyata salah alamat bocah ini korban salah tangkap oleh polisi.

Begitu mendengar divonis bebas kedua orang tua Koko langsung bersyujud syukur. Sebab sebelumnya betapa menakutkan karena bocah pelajar berseragam itu oleh jaksa sempat dijerat dengan pasal 363 KUHP tentang pencurian terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara. Saat ini Koko sudah kembali bisa bercengkerama bersama teman sekolah yang sempat dia tinggalkan hidup di hotel prodeo. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS