Gerakan “Revolusi Mental” Sindir Kalangan Birokrat
Oleh: Marto Tobing
CALON Presiden (Capres) Joko Widodo dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jusuf Kalla pada setiap kesempatan sedemikian gencarnya mencanangkan gerakan “Revolusi Mental”. Gerakan perbaikan mentalitas kebangsaan ini sangat nyata disindirkan khusus bagi kalangan birokrat. Yang menjadi pertanyaan, mengapa sasaran pasangan calon pemimpin ini langsung menusuk pada nilai-nilai hakikat manusia dan kemanusiaaan pada bingkai kebangsaan?
Tentu jawabannya, sebaik apa pun program yang digembar gemborkan untuk tujuan kesejahteraandan kemakmuran rakyat, jika mentalitasnya masih aji mumpung, rakyat selaku pemegang kedaulatan demokrasi tetap saja akan diposisikan sebagai obyek dan bukan sebagai subyek kerangka pembangunan nasional di semua sektor kehidupan ber-bangsa dan ber-negara.
Perbaikan sistem birokrasi baik itu di lembaga eksekutif mau pun di lembaga legislatif dan lembaga judikatif bukan satu-satunya solisi karena tetap saja berpeluang dibobol, ketika mentalitas para elit pemegang jabatan strategis itu masih bebal sekarat untuk penuhi kepentingan pribadi, politik dan kelompok.
Maka tak diragukan lagi gerakan “Revolusi Mental” ini adalah satu-satunya solusi berdampak luas karena sekaligus secara perlahan dapat merubah sikap mental non materialistis. Budaya malu akan semakin tumbuh seiring kepedulian komunitas untuk menjatuhkan sanksi sosial terhadap siapa saja yang menyimpang dari norma-norma kepatutan selaku mahluk sosial.
Kekayaan harta benda tidak lagi dijadikan sebagai patokan untuk peroleh status kehormatan sosial selain kredibilitas rekam jejak. Untuk itulah saatnya masyarakat perduli untuk mengetahui nilai kepantasan pemilik harta kekayaan untuk kemudian tidak buru-buru menjatuhkan bisa tidaknya dikenakan sanksi sosial. Tentu saja jenis sanksi sosial yang diterapkan erat kaitannya dengan keluhuran norma-norma budaya setempat.
Terserah apakah para koruptor yang sudah menjalani hukuman penjara, tidak lagi mendapat respon dari warga atau warga menyikapinya dengan pandangan sinis, cemooh serta diisolir, semua jenis sanksi sosial itu terjadi adalah sebagai akibat hubungan kausalitas.
Jabaran gerakan “Revolusi Mental” itu oleh pendukung Jokowi dan JK langsung diterjemahkan sebagai realita tunai dalam sikap. Sanksi sosial berupa sinis dan cemooh baru saja menimpa Ramadhan Pohan (RP) pada statusnya sebagai anggota DPR-RI dari Partai Demokrat. Adian Napitupulu (AN) calon legislatif (caleg) terpilih anggota DPR 2014-2019 dari PDIP itu mengingatkan agar RP sadar diri sebagai penikmat pajak yang disetorkan petani.
Mantan aktifis Forkot itu sempat mempermalukan RP di hadapan umum. “Apakah saudara sadar semua yang melekat di badanmu ini berasal dari pajak yang disetorkan petani, nelayan dan pedagang kaki lima. Pajak yang saya setorkan pun Anda yang menikmati, lalu apa yang sudah Anda lakukan, petani tetap miskin, nelayan tetap susah, pedagang kaki lima juga masih sengsara, Anda juga menikmati pajak yang saya setorkan.
Apakah Anda memikirkan nasib rakyat sebagai anggota DPR yang justru memilihmu..?” cecar AN sambil menyentuh sepatu, kemeja dan celana yang dikenakan RP disorot sebagai hasil menikmati pajak petani, nelayan dan pedagang kaki lima.
Sanksi sosial yang diberikan AN itu tampak membuat RP tak mampu berkilah melainkan petinggi Partai Demokrat itu hanya dapat bersikap sekedar melontarkan nada “bujuk” agar tidak dipermalukan di muka umum.
Mentalitas korupsi telah merasup hampir ke seluruh jajaran birokrasi eksekutif, legislatif dan judikatif bertemali dengan jaringan di kalangan swasta baik itu advokat mau pun pengusaha. Bagi aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ada ampun. Tuntutan hukuman bagi koruptur tampak semakin diperberat.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dituntut hukuman seumur hidup. Sedangkan mantan Ketua SKK MIgas Rudi Rubiandini (RR) divonis 12 tahun penjara. Takut hukuman diperberat di Pengadilan Tinggi, hak naik banding itu tidak dimanfaatkan RR. Selain 80 unit mobil mewah, asset yang disita KPK berupa rumah dan seluas tanah juga sebagai bukti betapa serakahnya Tubagus Chairul Wardhana (Wawan) menggerogoti keuangan negara.
Kejahatan serupa juga dilakukan Ratu Atut saat menjabat Gubernur Provinsi Banten. Mantan Gubernur Banten yang juga kakak kandung Wawan tersebut masih mendekam di Rutan KPK sedang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sama senasib, para penikmat uang haram sejenis yakni hasil kejahatan korupsi juga sedang menanti seberapa berat hukuman yang akan menerpa dirinya masing-masing. Para calon terpidana korupsi itu adalah mantan Menteri Agama, Surya Dharma Ali, mantan Ketua Umum Partai Demokrat (mantan anggota DPR) Anas Urbaningrum, mantan Menpora, Andi Alfian Malarangeng, mantan Ketua Komisi VII DPR-RI Sutan Batugana Siregar,Riefan Afrian anak Menkop UKM Syarif Hasan dan ratusan tersangka lainnya mulai dari bupati, walikota, gubernur, hakim, polisi, advokat, pengusaha dan jaksa yang sedang menjalani hukumannya juga yang masih dalam proses persidangan. ***