Dapatkah Politik Uang dalam Pemilu Diberantas ?
Oleh: Sutrisno Pangaribuan
POLITIK uang selalu terjadi dalam tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dan semua sistem Pemilu pasti menimbulkan politik uang. Bagaimana-pun sistem Pemilu yang akan diterapkan, sama-sama berpotensi melahirkan praktik politik uang.
Adalah Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Saldi Isra yang menyatakan itu dalam sidang pengucapan putusan MKRI yang menolak gugatan perubahan sistem Pemilu di gedung MKRI, Kamis (15/6/2023).
MKRI menyajikan contoh dalam sistem pemilu proporsional tertutup praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai dengan para calon anggota legislatif yang berupaya berebut nomor urut calon agar berpeluang atas keterpilihan semakin besar. Pembelian nomor urut calon DPR RI atau DPRD juga merupakan salah satu bentuk praktik politik uang.
Praktik tersebut potensial terjadi dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup. Demikian halnya dalam sistem proporsional terbuka tetap memiliki peluang terjadinya politik uang. Dalam hal ini bakal Caleg yang memiliki sumber daya finansial besar, dapat memanfaatkannya untuk mempengaruhi pemilih.
Mengutip saran MKRI, ada beberapa cara untuk mengurangi dan membatasi potensi terjadinya praktik politik uang dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pertama, partai politik dan para Caleg DPR RI dan DPRD harus memperbaiki komitmen menjauhi praktik politik uang dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Kedua, penegakan hukum harus dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran Pemilu, khususnya pelanggaran berkenaan politik uang tanpa membeda-bedakan latar belakangnya baik penyelenggara maupun peserta Pemilu.
Ketiga, masyarakat perlu diberikan kesadaran politik untuk tidak menerima praktik politik uang karena merusak prinsip Pemilu demokratis.
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai bagian civil society merangkum dan merekam keresahan rakyat Indonesia. Politik uang dan transaksi uang sudah masuk kategori sebagai “bahaya laten”. Semua jenis pemilihan penyelenggara urusan pemerintahan sudah diserang wabah politik uang.
Bandar Politik
Pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga ( RW) maupun kepala dusun (kadus) serta kepala lingkungan (kepling) ikut terpapar transaksi uang.
Hal serupa juga terjadi dalam berbagai pemilihan di tubuh organisasi non pemerintah (Ornop). Meski Ornop tidak mengelola keuangan pemerintah, namun pemilihan pimpinan Ornop, seperti organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan pemuda, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, hingga organisasi ikatan alumni sekolah atau kampus juga telah terpapar.
Ornop yang sejatinya sebagai civil society, pressure group dan moral force, justru lebih akrab dengan istilah no lunch free. Buang air kecil di toilet umum saja bayar, semua butuh uang kopi atau tambahan untuk tiket pulang anggota rombongan. Ironisnya, para calon pimpinan organisasi mahasiswa pun belakangan ini harus memiliki bandar politik baik dari kalangan pengusaha, oknum penyelenggara negara, hingga dari kalangan elit Parpol.
Saat ini sedang berlangsung rekrutmen penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dugaan terjadinya transaksi uang dan intervensi Parpol sangat kuat. Akibatnya para calon penyelenggara justru lebih sibuk membahas gerbong dan afiliasi Parpol daripada belajar materi seleksi. Para calon penyelenggara incumbent gelisah karena Jakarta merubah pola.
Penentuan tim seleksi yang tidak transparan, diduga sebagai upaya penertiban, pengendalian dan kanalisasi penyelenggara Pemilu. Situasi tersebut melengkapi keresahan para calon penyelenggara. Akhirnya semua calon penyelenggara berusaha mencari akses dan berteman dengan tim seleksi dan Parpol. Pilihan tersebut sebagai upaya merebut atau mempertahankan pekerjaan lima tahunan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Semakin Bar-bar
Praktik tersebut semakin barbar di daerah dimana calon-calon penyelenggara Pemilu, baik KPU dan Bawaslu di provinsi dan kabupaten/ kota harus mendapat rekomendasi dan dukungan dari Parpol tertentu. Sebab permainan diatur dan ditentukan oleh oknum pimpinan Parpol dari tingkat pusat hingga daerah.
Kolaborasi dilakukan oleh Parpol dengan alumni atau senior organisasi mahasiswa secara terstruktur, sistematis dan masif. Maka seragam penyelenggara yang seharusnya putih, kini terpaksa mengikuti lagu anak- anak “merah, kuning, hijau, di langit yang biru”.
Putusan MKRI yang mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan segala kekurangannya diyakini sebagai sistem Pemilu yang terbaik saat ini. Akan tetapi praktik politik uang menjadi kenyataan yang pasti akan terjadi. Untuk mengurangi, mengendalikan dan menghentikan politik uang, Kornas menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, Perpu Pemberantasan Politik Uang dalam Penyelenggaraan Pemilu harus segera diterbitkan.
Kedua, Parpol yang dibubarkan harus dijadikan sebagai Parpol Terlarang. Sedangkan para pelakunya harus dilarang mendirikan Parpol.
Ketiga, praktik transaksi uang yang diduga terjadi pada seleksi penyelenggara Pemilu harus diberi perhatian serius. Maka diminta kepada KPK untuk meningkatkan intensitas pemantauan dan pencegahan praktik suap dalam seleksi penyelenggara Pemilu.
Keempat, civil society sebagai benteng pertahanan bangsa dalam menghadapi berbagai ancaman dari bangsa sendiri, harus bergerak maju menolak dan melawan praktik politik uang dalam Pemilu maupun pemilihan lainnya.
Kelima, saatnya materi anti korupsi dijadikan sebagai materi pokok yang harus diajarkan sejak dini di sekolah formal. Materi anti korupsi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal.
Keenam, Demi kemerdekaan dan kedaulatan rakyat diminta kepada seluruh rakyat untuk tidak memilih Parpol atau calon, baik caleg, capres/ cawapres, cakada, cawakada, maupun calon perseorangan yang menggunakan politik uang.
Ketujuh, Parpol memiliki kewajiban untuk menertibkan setiap calon yang diajukan agar memiliki komitmen untuk menghentikan praktik politik uang. Bagi caleg yang melakukan praktik suap melalui pemberian uang dan sembako dalam berbagai pertemuan pra Pemilu harus diberi sanksi pembatalan calon.
Kedelapan, salah satu bentuk sanksi terhadap Parpol yang membiarkan praktik politik uang adalah penghentian pemberian bantuan keuangan Parpol yang bersumber dari APBN dan APBD. Negara tidak memiliki kewajiban membiayai Parpol yang merusak rakyat.
Kendati demikian, Kornas menyadari, praktik politik uang tidak mudah dihentikan. Namun dibutuhkan kesadaran kolektif dan komitmen bersama untuk mengakhiri dan menghentikannya. (Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional – Kornas, tinggal di Jakarta)