Dampak Hegemoni Asing
Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
IBARAT sebuah rumah tangga, penduduk negeri ini adalah berwarga negara Indonesia, tetapi aset-aset produktifnya yang di perut bumi dan di muka bumi serta di laut hampir sebagian besar dikelola asing. Ini sebuah fakta yang tak terbantahkan lagi. Negara gagal mengatur dan mengendalikan operasi bisnis mereka.
Menggoyang Indonesia dengan mesin ekonomi sangat mudah sekali dilakukan mereka. Cabut modal dan teknologi yang telah mereka kuasai, ekonomi Indonesia bisa langsung sekarat. Setiap terjadi situasi ekonomi bergejolak, pemerintah selalu mengatakan bahwa itu hanya situasi sesaat. Fondamental ekonomi Indonesia masih kuat dan masyarakat tidak perlu panik.
Nyatanya, ketika situasinya memburuk, pemerintah tak pandai segera menemukan obatnya yang mujarab. Tanggal 23 Agustus 2013, rancangan paket kebijakan ekonomi diumumkan dan sekaligus menyatakan ekonomi nasional rada demam. Tapi sekarang, sepekan sudah berlalu dan obatnya tak kunjung muncul. Demamnya makin tinggi dan kondisinya mengkhawatirkan.
Di masyarakat berkembang berbagai pendapat dan spekulasi serta riak kecil gerakan masyarakat mulai bermunculan. KKN di sektor hulu migas mulai terkuak dan saking senangnya memanjakan asing, tega-teganya pemerintah memberikan kepada asing untuk berinvestasi di sektor hotikultura.
APBN makin dibesarkan jumlahnya, makin tidak efektif untuk menggerakkan roda ekonomi karena tata kelolanya buruk, boros dan selalu buat bancaan. Pemerintah semakin tidak kredibel dan sulit untuk percaya bahwa mereka mampu berbuat banyak untuk bisa melepaskan diri dari cengkeraman asing.
Indonesia telah tersandera kedaulatan ekonominya, baik dari dalam maupun dari luar. Secara internal, ekonomi Indonesia tersandera sendiri oleh kebijakakan ekonominya yang sudah sangat liberal karena tuntutan mereka. Minta tax holiday dikasih, minta agar repatriasi keuntungannya tidak dibatasi dikasih. Agar Indonesia tidak menganut rezim kontrol devisa dipenuhi juga. Minta lahan yang luas sampai harus mengorbankan lahan produktif sektor pertanian untuk dikonversi menjadi lahan non pertanian terus diobral demi FDI.
Semua proses tadi tidak lepas dari maraknya perburuan rente. Dan dari sinilah proses dimulainya pemerintah menjadi tersandera oleh kepentingan asing. Di sisi ekternal, Indonesia selalu menjadi good boy. Semua perjanjian internasional di bidang investasi dan perdagangan ditandatanganinya semua, baik dalam kerangka WTO maupun skema-skema yang bersifat regional dan bilateral.
Semua diratifikasi ke dalam sistem hukum nasional. Lengkaplah sudah hegemoni asing di bidang ekonomi untuk menguasai aset produktif milik bangsa. Jangan berharap, pemerintah akan berani melakukan tindakan tegas untuk membatasi repatriasi keuntungan dan pengetatan lalu lintas devisa serta pembatasan impor.
Kenapa tidak berani? Kita sudah tahu jawabannya, yaitu takut dimaki-maki IMF, WTO atau takut dikerjain di forum G20, Apec atau pada forum yang lain. Melalui berbagai kebijakan pemerintah dan DPR, sebenarnya merekalah yang membuat semua peristiwa ekonomi di negeri ini terjadi. UUD 1945 hanya dipakai sebagai konsideran saja dalam setiap pembuatan UU di bidang ekonomi.
Kita menyadari bahwa sejatinya bangsa dan negara ini aktivitas ekonominya sudah berbasis aset asing. Sepertinya sudah terkunci dari kiri kanan dan prosesnya masih terus berlanjut hingga sekarang. Asal bicara tentang pertumbuhan ekonomi,maka jawabannya sudah bisa ditebak, yakni undang asing dan manjakan mereka. Yang serba lokal hanya dipakai untuk jargon dan konsumsi politik di dalam negeri.
Kepentingan nasional yang ada dibenaknya hanyalah fulus untuk kepentingan sendiri dan para kroni politiknya. Kartel politik dibangun hanya untuk kepentingan saling menyelamatkan jika terjadi kebocoran tentang permainan yang sedang mereka lakukan dalam arena perburuan rente. ***