Damai, Harmonis dan Bahagia

Loading

Oleh : Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

INI keinginan kita bersama umat manusia sedunia. Tapi dalam kehidupan manusia itu selalu ada paradoks, Pertama, manusia ingin kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan, tetapi pada kenyataan hanya persoalan salah ngomong, persoalan sepiring nasi, manusia menjadi terganggu kedamaiannya, keharmonisan dan bahkan kebahagiaannya.

Paradoks yang kedua, pada diri manusia terjadi sikap ambigio sehingga banyak peristiwa kehidupan yang terjadi di dunia ini karena sikap ambigio tersebut. Tidak satunya kata dan perbuatan. Hal semacam ini juga sering mengakibatkan terjadinya ketidakdamaian, ketidakharmonisan dan ketidak bahagiaan. Masih banyak lagi paradoks-paradoks kehidupan yang terjadi pada diri manusia.

Damai, harmonis, bahagia bukan soal dolar, rupiah, rumah mewah, istri cantik dan sederet ukuran yang bersifat kebendaan. Dengan demikian, mereka itu bukan sesuatu yang sifatnya tangible, tapi lebih bersifat intangible (sesuatu yang tidak berujud) sehingga tidak ada ukuran yang bersifat universal atau dapat disetarakan dalam kehidupan yang bersifat serba benda sebagai ukuran.

Dalam haubungan ini misalnya, damai, harmonis dan bahagia itu sama dengan sekian rupiah, sekian dolar dan sebagainya. Yang pasti, damai, harmonis dan bahagia itu adalah kebutuhan kita. Yang lebih pasti lagi adalah bahwa damai, harmonis dan bahagia meskipun bersifat intangible nilainya lebih tinggi dari nilai/harga dari sebuah ukuran yang bersifat tangible. Anda boleh percaya dan boleh tidak percaya dengan premis ini.

Dunia yang damai dan harmonis adalah sumber kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Kedamaian dan keharmonisan dan kebahagiaan akan banyak mengurangi biaya sosial, politik dan ekonomi dalam jumlah yang masif, yang berarti sebagai sesuatu yang bersifat intangible, bisa memberikan sumbangan yang sangat berarti secara material/secara tangible bagi kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, kalau kita dalam keseharian sering berbicara soal damai, harmonis dan bahagia tidak bisa hanya diucapkan saja. Rasanya tidak pas kalau persoalan damai, harmonis dan bahagia itu hanya ditempatkan sebagai tujuan, lebih tepat kalau hal ini termasuk dalam suatu need/kebutuhan hidup manusia menjadi lebih tepat. Alasannya sederhana saja.

Kesatu, kalau damai, harmonis dan bahagia ditempatkan sebagai tujuan, maka naluri kemanusiaan akan berproses secara alamiah untuk mengejar sesuatu yang tangible (harta dan tahta) lebih dulu dan setelah bisa diraih diharapkan sesuatu yang intangible sifatnya akan tercapai (damai, harmonis dan bahagia). Padahal pada kenyataan yang hidup di tengah-tengah kehidupan manusia di manapun kejadiannya tidak seperti itu.

Kedua, lain halnya kalau damai, harmonis dan bahagia di tempatkan sebagai kebutuhan hidup dan bahkan nilainya lebih besar dari yang bersifat tangible, maka manusia akan berusaha untuk meraihnya. Sadar atau tidak, apa yang terjadi di dunia sekarang dan nampak secara pisik adalah terjadinya sebuah proses pemenuhan kebtuhan hidup manusia yang boleh dibilang banyak diwarnai mengejar kebutuhan hidup yang bernilai kebendaan.

Pertumbuhan ekonomi, devisa negara, berkurangnya pengangguran dan kemiskinan ini yang menjadi obsesinya. Kalau hal ini tercapai maka diharapkan kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan akan tercapai sebagai tujuan. Padahal tidak demikian, karena sejatinya damai, harmonis dan bahagia itu adalah bagian dari kebutuhan hidup kita dan bukan semata-mata tujuan hidup kita.

Makanya ketika suatu masyarakat, bangsa dan negara telah berhasil mencapai kemakmuran dengan ukuran-ukuran yang material tadi, tidak menjamin bahwa damai, harmonis dan bahagia dapat diraihnya sekaligus. Karena damai, harmonis dan bahagia itu adanya dalam hati/qalbu kita. Damai, harmonis dan bahagia adalah sebuah ketulusan dan sifatnya netral serta tidak akan pernah muncul kepermukaan yang dibungkus dengan kepura-puraan, kepalsuan.

Manusia yang mendambakan dan merasakan kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupannya akan muncul secara natural dan tulus dari aura wajahnya, ucapan dan tutur katanya, bahkan tindakannya. Nyaris tidak nampak dari sikap itu kepura-puraan dan kepalsuan. Dengan perkataan lain, manusia yang demikian dapat kita anggap berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat intangible (damai, harmonis dan bahagia) selain tentu yang bersifat tangible guna menopang kehidupannya.

Menyongsong natal dan tahun baru dan umat muslim yang telah merayakan tahun baru hijriahnya, tentu menjadi renungan kita bersama bahwa damai, harmonis dan bahagia itu hakekatnya adalah kebutuhan kita bersama, bukan sekedar menempatkannya sebagai tujuan hidup. Hidupku, matiku harus bisa dibaurkan kedalam nilai kehidupan yang seimbang selaras sebagai manusia seutuhnya.

Pada akhirnya, kita ingin mendapatkan sesuatu yang terbaik dalam kehidupan ini. Damai harmonis dan bahagia di bumi dan di alam kehidupan nanti. Soal surga atau neraka serahkan kepada Sang Pencipta memutuskannya. Yang penting dan pasti diantara kita harus membuat tabungan yang sebanyak-banyaknya bukan dalam bentuk rupiah, dolar, mas batangan, rumah mewah dan mobil mewah. Tapi dalam bentuk yang intangible yang harus diperbanyak dan harus lebih banyak agar kedamaian, keharmonisan dan kebahagiaan hakiki yang kita raih.***

CATEGORIES
TAGS