CEO Taman Margasatwa Ragunan Perlu Disayembarakan

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

UNTUK mengelola atau sebagai Chief Executive Officer (CEO) Taman Margasatwa Ragunan (TMR) perlu disayembarakan untuk mendapatkan orang yang kompeten dan punya kredibilitas yang memadai. Sehingga, tuduhan-tuduhan pengelolaan yang amburadul dan majemen yang tidak transparan, tidak terjadi lagi. TMR juga menjadi kebanggaan Indonesia.

Selama ini memang TMR ini hanya dikelola secara konvensional dan seolah-olah hanya dijadikan tempat rekreasi dan hiburan yang murah bagi masyarakat. Tarif masuk hanya Rp4000 bagi dewasa dan Rp2000 untuk anak-anak. Sehingga biaya pengelolaan TMR yang rata-rata Rp55 miliar setiap tahun, masih disubsidi dari APBD DKI Jakarta Rp34 miliar tiap tahun.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyatakan akan mengutamakan peran Taman Margasatwa Ragunan sebagai pusat edukasi dan koservasi alam, ketimbang hanya sebagai tempat rekreasi dan hiburan. Peran ini menuntut pengetahuan pengelolaan yang lebih luas serta manajemen yang lebih profesional.

Kebun Binatang Ragunan yang dulu berlokasi di Cikini, kira-kira di bagian belakang areal Taman Ismail Marzuki sekarang, dipindahkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1966 ke Ragunan. Luas semula hanya 30 hektare dengan jumlah satwa hanya 450 ekor, kemudian diperluas hingga sekitar 150 hektare dengan koleksi lebih dari 2.100 ekor satwa dari 220 spesies saat ini.

Menurut sejarahnya, Kebun Binatang Cikini, semula bernama Planten en Dierentuin yang didirikan pelukis ternama, Raden Saleh, 19 Desember 1864, berdekatan dengan rumah kediamannya di tengah kompleks Rumah Sakit PGI Cikini saat ini. Selain Kebun Binatang Cikini, di kawasan ini dulu ada Kolam Renang Cikini yang cukup populer sampai tahun 1966, yang disulap Ali Sadikin menjadi kompleks TIM sekarang.

Sepanjang tahun 2013, sedikitnya 22 satwa koleksi TMR, dilaporkan mati karena berbagai sebab. Menurut investigasi Inspektorat Provinsi DKI Jakarta, penyebab kematian, antara lain sistem pengendalian internal terkait pemeriksaan dan pendistribusian pakan satwa lemah. Jaringan distribusi pakan tidak didukung hasil pemeriksaan laboratorium secara berkala, sehingga tidak menjamin kualitas pakan. Tidak ada pejabat khusus yang menangani distribusi pakan, sehingga semuanya tidak sesuai dengan standar operasional prosedur perawatan satwa yang baik.

Pengawasan satwa juga kurang. Satwa yang mati hingga awal Desember lalu, antara lain 15 jenis walabi akibat serangan anjing liar, 2 kuda nil akibat penyakit dan dugaan serangan predator; 1 orangutan kalimantan dan 1 gorilla karena kecelakaan, 1 kerbau albino, 1 jerapah dan 1 singa afrika diduga mati karena usia.

Inspektorat Provinsi DKI merekomendasikan agar pengelola TMR meningkatkan sistem pengendalian distribusi pakan satwa, meningkatkan kebersihan lingkungan area TMR, optimalisasi tempat penyimpanan pakan, dan meminta pengelola agar mengintensifkan petugas perawatan satwa. Memang, selain manajemen yang masih perlu disempurnakan, beberapa persoalan yang saat ini dihadapi TMR, antara lain buruknya kualitas air baku untuk kebutuhan ribuan satwa dan kondisi kandang yang kurang memadai.

Oleh karena itulah, TMR diusulkan untuk direvitalisasi. Sesuatu yang perlu diapresiasi dari tanggapan Gubernur Joko Widido dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama atas usulan itu, adalah keputusannya yang menetapkan bahwa TMR akan tetap dikelola sendiri Pemprov DKI Jakarta. Selama ini ada wacana agar dikerjasamakan pengelolaanya dengan manajemen Taman Impian Jaya Ancol dan bahkan dengan manajemen Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor.

Kalau wacana ini yang terjadi, sudah dapat dipastikan bawa sebagai usaha perseroan hanya mengutamakan keuntungan usaha semata. Padahal Pemprov DKI Jakarta justru mengutamakan fungsi TMR sebagai pusat edukasi dan koservasi alam. Atraksi hiburan yang sering digelar di TMR dan diduga membuat hewan-hewan stres, justru akan dikurangi. Bagi Pemprov DKI, areal TMR sekitar 150 hektare di tengah kota Jakarta yang padat penduduk ini, merupakan ruang terbuka hijau dan paru-paru kota penghasil oksigen yang luar biasa.

Sehingga, Gubernur Jokowi pada waktu dialog publik, 8 Oktober lalu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta siap merevitalisasi dengan memberi dukungan dana untuk mengembangkan TMR. Bahkan, ia mengatakan, pihaknya siap memberikan berapa pun dana yang dibutuhkan asal pihak pengelola menjamin TMR menjadi yang terbaik di dunia. Untuk tahap awal, Pemprov DKI Jakarta akan menyiapkan dana pengembangan sebesar Rp400-Rp500 miliar pada tahun anggaran 2014 nanti.

Pengembangan atau revitalisasi TMR, dianggap penting untuk menjaga kelestarian hutan kota seluas sekitar 150 hektare yang ditumbuhi berbagai tanaman tropis khas Indonesia itu, selain memelihara ribuan koleksi satwa dari lebih dari dua ratusan spesies yang akan memperkaya ilmu pengetahuan. Di tengah areal ini juga terhampar danau seluas 9,6 hektare. Apabila danau ini dikelola dengan baik, akan bisa menjadi pelengkap ekologi lingkungan dan sumber air minum bagi satwa dan menjadi bahan baku air bersih bagi masyarakat sekitar.

Laboratorium Hidup

Aktivis Kota Hijau, Nirwono Joga mengatakan, revitalisasi TMR ini patut didukung. Namun harus ditegaskan dan menjadi roh revitalisasi, adalah mengembalikan fungsi TMR sebagai pusat konservasi satwa. Artinya, bukan hanya menjamin kelestarian ratusan spesies yang menjadi koleksi TMR, tetapi harus bisa menjadi laboratorium hidup, di mana setiap pengunjung, terutama para pelajar mendapat pelajaran atau edukasi berharga dari berkunjung ke tempat itu.

Memang, yang terjadi selama ini di TMR, belum seperti laboratorium hidup, hanya sekedar pengenalan nama-nama satwa. Yang memimpin TMR pun bukan dari manajer profesional, tetapi diusahakan dari dokter hewan yang mungkin diharapkan bisa mengobati satwa bila sakit. Penghasilan TMR hanya mengharapkan tiket masuk pengunjung dan subsidi dari APBD. Sehingga, pengelola berupaya mengakomodasi kebutuhan pengunjung yang ingin hiburan dengan orkes dangdut.

Padahal, apabila TMR difokuskan menjadi pusat edukasi satwa dan koservasi alam yang profesional dan kreatif, ada potensi pendapatan lebih besar dari mungkin pengunjung wisatawan. Tetapi bagi pelajar harus tetap disubsidi pemerintah. Di sinilah perlu disayembarakan lomba konsep dan program pengelolaan, serta pengelola atau CEO yang andal memimpin TMR sesuai visi dan misinya.

Nirwono mencontohkan perbandingan pengelolaan kebun binatang di Singapura atau konservasi kangguru di Australia. Dari sisi koleksi, keduanya jelas kalah dari TMR, tetapi wisatawan dari segala penjuru dunia selalu berkunjung ke sana, dengan harga tiket masuk yang tentunya lebih besar.

Sementara itu, Pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang selama ini menjadi Ketua Dewan Pengawas TMR, diharapkan bisa mematangkan cetak biru pengelolaan taman margasatwa ini, dan memimpin sayembara memilih CEO revitalisasi Ragunan yang andal. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS