Catatan Kritis Seputar APBN/APBD
Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
APBN dan APBD adalah bentuk kebijakan fiskal negara yang ditetapkan bersama antara pemerintah dan lembaga legislatif. APBN ditetapkan dengan Undang-undang dan APBD ditetapkan berdasarkan Perda propinsi/kabupaten/kota.
Dalam APBN terdapat tiga komponen besar yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. APBN menjadi sumber utama bagi pemerintah dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. APBN telah menjadi alat pemerintah dalam menjalankan fungsinya, yakni fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi.
Dalam rangka pelaksanaan komponen belanja dan pembiayaan, APBN dialokasikan ke berbagai Kementrian/Lembaga (K/L), transfer ke daerah dalam DAU/DAK, yang pada dasarnya digunakan mendukung pelaksanaan tugas pokok pemerintahan dan pembangunan.
Bappenas, Kemenkeu dan DPR tentu sangat memahami tentang konsep dan fungsi APBN seperti dijelaskan di depan. Tapi, maaf tidak semua K/L dapat memahami konsepsinya yang seperti itu. Di lingkungan K/L yang secara umum difahami adalah bahwa APBN disusun untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan pembangunan di K/L bersangkutan sesuai dengan skala prioritas yang tercermin dalam Rencana Kerja Pemerintah(RKP) dan Rencana Kerja K/L di setiap tahun anggaran.
K/L pada umumnya tidak “begitu memperhatikan” fungsi-fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Yang banyak dilakukan adalah pelaksanaan fungsi alokasi. Pembahasan antara DPR dengan pemerintah di Banggar mungkin secara makro terdeskripsikan di antara ketiga fungsi tadi di samping juga selalu diketahui tentang komponen utama APBN yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Pembahasan di tingkat komisi dengan K/L melalui forum Raker maupun RDP, tidak detil membahas tiap komponen apalagi fungsi, meskipun di dalam satuan 3B-nya nampak mana unsur pendapatan, belanja dan pembiayaan di K/L bersangkutan.
Tidak Pernah Dibahas
Proses pengendaliannya di saat pembahasan di forum-forum tersebut, nyaris tidak pernah dibahas tentang postur APBN di masing-masing K/L dilihat dari kerangka pendapatan, belanja dan pembiayaan. Dengan pola pembahasan yang seperti itu, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya bias penyusunan APBN di K/L.
Bias itu bisa terjadi di pos biaya, lebih dominan besaran alokasinya daripada pos pembiayaan. Akibatnya, begitu dicek ke fungsi distribusi dan stabilisasi, bisa terjadi bias lagi. Akibat lebih lanjut bisa terjadi efektifitas penggunaan APBN, juga menjadi bias. Pada tahap ini saja, sudah bisa terjadi “potencial loss” atau paling tidak berpotensi terjadinya “pemborosan”.
Ini catatan kritis yang pertama. Kedua, dilihat dari sisi progam, utamanya dilihat dari nomenklatur progam sangat bagus. Sebagai catatan, sekarang ini masing-masing unit eselon-1 memiliki satu progam sendiri di masing-masing K/L. Anda bisa bayangkan ada berapa ratus progam secara nasional yang harus dijalankan oleh pemerintah di pusat, belum lagi di daerah.
Persoalannya adalah, koordinasi dan sinkronasinya nyaris tidak terjadi. Di antara unit eselon-1 dalam satu K/L saja, tidak terjadi, apalagi koordinasi dan sinkronisasi antar K/L di pusat maupun di daerah. Dalam kondisi yang seperti itu, lagi-lagi potensi terjadinya pemborosan anggaran sangat terbuka terjadi.
Catatan kritis yang ketiga, di masing-masing program pasti terdiri dari banyak kegiatan. Pengendalian kegiatan di masing-masing progam juga nyaris tidak dilakukan dengan efektif. Pengguna Anggaran (PA) dalam hal ini menteri /kepala lembaga, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak punya waktu mengecek satu persatu kegiatan yang akan dilaksanakan, baik volumenya maupun kualitas kegiatannya.
Pejabat Pembuat Komitmen(PPK) dan para koordinator dan pelaksana kegiatan menjadi super sibuk melaksanakan kegiatan, baik secara swa kelola maupun kontraktual yang volume kegiatannya sangat banyak (sebagian business as usual), sementara sumber daya manusia sebagai pendukung, jumlahnya terbatas.
Pada kondisi seperti ini terjadi tiga situasi. Pertama kualitas pekerjaan nyaris kurang dapat dipertanggungjawabkan karena disemangati oleh kejar tayang. Kedua, karena banyak kegiatan yang bersifat business as usual, di samping ada persoalan koordinasi dan sinkronisasi antar kegiatan yang tidak jalan, maka pada kondisi ketiga sebagai dampaknya adalah terjadi potensi pemborosan anggaran.
Rendahnya serapan penggunaan anggaran juga dipengauhi oleh faktor ini. Belum lagi kalau terjadi penyalahgunaan dan penyelewengan penggunaan anggaran. Analisa kualitatif seperti itu, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Sebenarnya APBN yang jumlahnya sudah mencapai ribuan triliun rupiah yang tiap tahun meningkat, volumenya relatif jauh dari cukup untuk dibelanjakan dan membiayai progam-progam pemerintah asalkan persoalan koordinasi dan sinkronisasi progam dan kegiatan dapat diselesaikan oleh pemerintah.
2) Sistem Pengendalian Intern di masing-masing K/L harus dijalankan sesuai konsep dan metodenya. Sekarang ini SPI sudah ada ketentuannya tapi dalam kenyataannya belum dipraktekkan secara berjenjang, dengan akibat kegiatan sebagai pendukung progam tidak efisien dan efektif untuk menghasilkan output apalagi kalau diukur dari outcome dan dampaknya. Jauh panggang dari api.
3) Fungsi Bappenas harus dikembalikan seperti semula sebelum diberlakukannya Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, di mana lembaga itu memiliki kewenanangan kuat untuk melakukan fungsi koordinasi dan sinkronisasi progam di antara K/L di pusat maupun koordinasi dan sinkronisasinya progam daerah.
4) Reformasi birokrasi harus dijalankan secara konsisten dan berlanjut yang fokusnya diarahkan ke re-inventing goverment, bukan soal renumerasi saja seperti sekarang ini dilakukan.
5) Fungsi budgeting di DPR sebaiknya berhenti sampai dengan pembahasan di tingkat satuan 3B. Jadi benar-benar membahas tentang politik anggaran yang lebih berbasis kepada aspek alokasi, distribusi dan stabilisasi. Pembahasan di tingkat RKA-K/L sebaiknya menjadi fungsi utama pemerintah yang dikoordinasikan oleh Bappenas dari aspek koordinasi dan sinkronisasi progam dan kegiatan, sementara itu, fungsi costing menjadi tanggung jawab Kemenkeu.
6) Fungsi inspektorat jenderal agar dialihkan dari fungsi audit ke fungsi evaluasi dan pengendalian progam dan kegiatan di masing-masing K/L. Fungsi audit diserahkan saja ke BPK sebagai auditor negara yang diatur berdasarkan undang-undang.
7) Segala bentuk penyalahgunaan/penyelewengan penggunaan anggaran harus ditindak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. ***