Cadangan Devisa Tinggal USD 98,095 Miliar Per Akhir Juni 2013

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

CADANGAN devisa dipahami oleh masyarakat awam sebagai tabungan milik negara yang dikelola Bank Indonesia. Sebagai cadangan tentu tidak boleh dipakai secara sembrono. Ada aturan cara menggunakannya. Bank Indonesia biasanya memakainya untuk hal-hal yang bersifat urgent. Misalnya, untuk melakukan intervensi moneter guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Memenuhi kebutuhan valuta asing untuk transaksi impor dan pembayaran utang pemerintah. Ini yang paling pokok.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo mengatakan bahwa cadangan devisa tergerus selama sebulan mencapai USD 7,055 miliar, sehingga yang pada bulan Mei masih tersedia cadangan sebesar USD 105,15 miliar turun menjadi USD 98,095 miliar. Fenomena ini kalau para ahli ekonomi yang melihatnya mungkin dipandang hanya persoalan yang alamiah, karena hukum pasar mengajarkan kalau permintaan bertambah dan pasokan tetap atau menurun, maka harga pasti akan naik.

Namun, sebagai orang yang tidak punya dolar dan hanya pegang rupiah saja dalam bentuk recehan tidak ngaru tentang cadangan devisa yang turun. Mereka lebih ngaru dan paham ketika uang seribu rupiah yang dipegangnya hari ini hanya dapat untuk beli telur ayam separoh butir saja. Bahkan ada yang mengatakan hanya dapat putih telornya saja.

Rupiah dibuat tidak berwibawa oleh pemerintah dan masyarakat kapitalis borjuis di negeri sendiri. Tapi oleh kalangan rakyat biasa, rupiah justru berwibawa, karena mereka baru bisa dan tidak biasa dan tidak pandai bermain valas. Para kalangan the haves di negeri ini dan para kapitalis borjuis kalau boleh direkam aset likuidnya, baik yang disimpan di bawah kasur di rumahnya maupun di bawah bantal hotel berbintang atau di perbankan, pasti banyak dolarnya atau mata uang asing lainnya. Begitu harga dolar murah, rupiahnya ditukar dolar. Begitu jual emas batangan dan properti lainnya minta dibayarnya pakai dolar, dan sebagainya.

Tampaknya, fenomena ini adalah akibat dari mata uang telah menjadi berfungsi sebagai mata dagangan internasional selain secara konvensional berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Ketika jurang si kaya dan si miskin masih lebar seperti di Indonesia, maka setiap aktivitas ekonomi yang dapat menyebabkan nilai rupiah jeblok terhadap mata uang asing, yang menjadi korban pertama adalah para pemegang rupiah, karena nilainya menjadi tidak berarti, terutama bagi masyarakat kelas menengah bawah termasuk kelompok masyarakat miskin. Dan menjadi sangat terasa manakala rupiah itu akan dibelanjakan untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Mereka terkena dampak yang bersifat ganda, yaitu akibat perubahan nilai tukar rupiah yang terpuruk dan terkena dampak akibat harga kebutuhan pokok yang kian meroket naik.

Sejatinya, kalau cadangan devisa pada saat tertentu bisa kesedot dalam jumlah besar, karena dipakai, maka pemakaiannya itu juga dimarakkan oleh kalangan the haves dan kaum borjuis Indonesia yang juga banyak menjual rupiahnya di pasar valas, untuk misalnya belanja ke Singapura, karena ada Singapura great sales atau wisata liburan anak sekolah ke Eropa, Australia, dan negara-negara lain di dunia. Kebutuhan valasnya juga makin bertambah manakala mereka melakukan investasi properti di Singapura, Perth di Australia atau juga di Eropa sekalipun. Bagi negara yang cadangan devisanya sangat besar, seperti China, mungkin ekonominya tidak mudah terguncang bila terjadi penarikan cadangan devisa dalam jumlah seperti yang terjadi di negeri kita.

Pengendalian Impor

Banyak pandangan yang sudah dikemukakan oleh para ahli ekonomi.Ada yang berpendapat pemerintah perlu melakukan kebijakan kontrol devisa. Kendalikan impor barang-barang yang tidak penting. Ada yang berpandangan segera bangun kembali industri substitusi impor untuk bisa menekan laju impor bahan baku/penolong, barang modal dan komponen/suku cadang, termasuk pengembangan jasa-jasa industrinya. Pun sampai ada yang berpandangan bahwa BI barangkali perlu menerapkan kebijakan quantative easing dengan cara membeli obligasi negara yang hasilnya digunakan untuk memberikan stimulan agar sektor riil tumbuh dan berkembang, termasuk pembangunan infrastruktur yang menyerap tenaga kerja banyak.

Semua pandangan itu baik, dan mau milih yang mana tentu berpulang kepada platform kebijakan ekonomi Indonesia ke depan mau diformat seperti apa oleh kabinet mendatang. Catatannya adalah apakah Indonesia sudah tepat membuka pasar finasialnya begitu bebas, sementara kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat makin menganga lebar diukur dari indeks gini ratio. Lebih tepat kalau pemerintah lebih baik membenahi infrastruktur ekonominya agar kegiatan investasi di sektor industri pengolahan tumbuh dan sektor pertanian dapat berkembang.

Catatan yang lain, apakah tepat Indonesia harus meliberalisasi sektor jasa-jasanya manakala defisit neraca jasanya masih besar, bisa mencapai sekitar USD 10 miliar kata berbagai sumber. Cadangan devisa dan nilai rupiah, nasibmu sangat tergantung pada kepekaan dan rasa nasionalisme dari para penggunanya di negeri ini yang pemerintahnya sedang galau karena tabungannya berkurang banyak. Mau berbuat yang lebih nasionalis takut disentil oleh para guru besarnya di sebelah barat sana. Ada IMF, ada World Bank. Ada pula WTO, G20, dan AS. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS