Busung Lapar Masih Ada di Indonesia (1)

Loading

Oleh: dr Jimmy R Tambunan, SpoG

bagian pertama dari dua tulisan

Ilustrasi

Ilustrasi

KETAHANAN pangan merupakan salah satu program utama di Indonesia. Hasil kajian ketahanan pangan nasional membaik dengan ditunjukkan oleh peningkatan produksi pangan, ketergantungan pangan terhadap impor sangat kecil dan peningkatan konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan.

Namun hal itu tidak menjamin di daerah, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan di daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ketahanan pangan daerah dengan melakukan advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang dan kesepakatan yang telah dibuat.

Selain itu pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah dengan memperhatikan aspek ketahanan pangan.

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDG) terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990.

Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar (215 juta orang), masalah pangan selalu merupakan masalah yang sensitif. Sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas.

Secara definisi, konsep ketahanan pangan telah jelas seperti telah disebut kanter dahulu. Namun dalam penjabarannya terdapat variasi dikarenakan konsep ketahanan pangan memang luas dan komplek menyangkut berbagai hal. Menurut Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan, (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu.

Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga.

Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri (domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat diperdagangkan antar wilayah terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor. Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.

Beras terlanjur sebagai pangan pokok utama bahkan juga pertama di berbagai daerah termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok non beras seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Selain itu beras terlanjur sebagai komoditas politik dan publik yang melibatkan banyak pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi.

Walaupun terjadi peningkatan produksi pangan namun tetap harus waspada terutama dalam aspek kestabilan pangan jangka panjang baik dari segi harga, volume maupun kestabilan antara wilayah. Kestabilan tersebut akan berpengaruh tidak hanya memacu terwujudnya ketahanan pangan tetapi juga ketahanan nasional, sebagai upaya untuk meredam timbulnya konflik-konflik yang muncul akibat kelangkaan pangan.

Kemandirian pangan yang diukur dengan ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor dapat digunakan sebagai indikator kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aks(Kandidat Magister Hukum Kesehatan UNIKA Soegijapranata Semarang)esibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara implisit merefleksikan variabel pendapatan atau daya beli masyarakat.

Pada kondisi sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi pangan mengalami peningkatan, sebaliknya waktu krisis ekonomi terjadi penurunan konsumsi pangan. Pada masa krisis ekonomi terjadi penyesuaian (adjustment) strategi dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan.

Dengan daya beli yang menurun, masyarakat telah mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan jenis pangan dengan harga yang relatif murah seperti ditunjukkan oleh penurunan konsumsi pangan hewani dan peningkatan konsumsi tahu+tempe. Sehingga pada kondisi tersebut konsumsi pangan hewani yang harganya relatif mahal menurun dan sebaliknya konsumsi tahu dan tempe terjadi peningkatan. Karena sifat pangan hewani yang sangat elastis terhadap perubahan pendapatan, maka pada periode pemulihan ekonomi (1999-2002), konsumsi pangan hewani meningkat dan konsumsi tahu dan tempe menurun kembali. Secara umum, konsumsi pangan menunjukkan peningkatan seperti terlihat dari laju pertumbuhan yang bernilai positif.

Kualitas konsumsi pangan yang diukur dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH), juga menunjukkan peningkatan. Skor mutu pangan terus meningkat dari 66,2 tahun 1993 menjadi 69,8. Namun pada waktu krisis ekonomi, kualitas konsumsi pangan menurun menjadi 62,4.

Hal yang menggembirakan walaupun tingkat konsumsi energi pada tahun 2002 masih lebih kecil dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis ekonomi namun kualitas konsumsi pangannya menunjukkan kebalikannya. Kondisi pemulihan ekonomi telah mampu meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan dengan skor mutu pangan mencapai 71,8. Persen.***

(Kandidat Magister Hukum Kesehatan UNIKA Soegijapranata Semarang)

CATEGORIES
TAGS