Belajar Menahan Diri

Loading

Oleh: Utomo Kartosuwondo

Ilustrasi

Ilustrasi

APABILA kita renungkan sikap dan perbuatan kita sehari-hari, ternyata “kemampuan menahan diri” di dalam pergaulan bukan sesuatu yang mudah. Banyak perilaku yang “tidak bisa menahan diri” dan berakibat mengganggu ketenangan dalam bersikap yang bisa memunculkan rasa permusuhan dan berakhir dengan penyesalan.

Hal ini perlu dicermati agar kita dapat ikut membangun rasa damai dalam pergaulan kita sehari-hari. Penyesalan biasanya datangnya kemudian. Walaupun rasanya sudah berusaha melakukan perbuatan baik, tetapi kenyataannya dalam sikap “menahan diri” masih saja tidak terlaksana.

Ketidakmampuan kita dalam “menahan diri” ternyata tidak terlepas dari kurang intensifnya dalam melatih diri untuk menahan gejolak nafsu kita yang negatif, seperti marah tidak pada tempatnya, mudah terpancing emosi tanpa mencari tahu sebab kejadian, memberi komentar negatif tanpa mengetahui pokok permasalahan dan lain-lain. Hal ini terjadi karena kita kurang dapat menerapkan watak sabar dalam bergaul dalam masyarakat.

Kerapkali mulut kita sangat mudah untuk mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti orang lain, walaupun bahkan bertujuan untuk sesuatu pemberitahuan ataupun menasehati orang lain. Kita sering merasa apa yang kita ucapkan sebenarnya untuk kebaikan orang lain juga, akan tetapi kenyataannya orang lain yang menerimanya merasa “sakit hati” atas ucapan kita.

Apabila demikian dimana letak “kesalahan” itu? Ada kata mutiara seperti berikut ini: “Berbicara yang berguna adalah lebih baik daripada diam, tetapi diam untuk kata-kata yang dapat menimbulkan kesusahan pada orang lain lebih baik daripada berbicara. Maka janganlah menganggap mudah mengeluarkan kata-kata yang melukai hati orang lain, sebab lukanya akan membekas lebih dalam daripada luka terkena senjata tajam”.

Oleh karena itu, betapa tidak mudahnya berkomunikasi dengan baik melalui mulut kita, salah-salah bisa menjadi masalah yang rumit. Mulut itu selain menjadi alat untuk memasukkan makanan, juga menjadi alat untuk mengeluarkan kata-kata. Dengan demikian jagalah agar apa yang masuk ke dalam dan ke luar dari mulut dapat bermanfaat, jangan sampai membuat celaka orang lain. Jadi, betapa pentingnya memiliki kesabaran dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Sabar ini harus dinyatakan di dalam ”kemampuan kita menahan diri” untuk tidak banyak bicara yang bukan-bukan.

Demikian pula apabila kita kurang bersyukur atas apa pun yang kita terima dari hasil usaha kita. Apabila kita mendapatkan sesuatu yang ”membuat kecewa”, pasti cepat sekali muncul sikap tidak menerima/bersyukur. Hal ini berakibat membuat perasaan seseorang menjadi ”kalang-kabut”, seperti kata mutiara berikut ini: ”Orang yang tidak dapat menerima/tidak bersyukur dalam hidupnya, hatinya seperti selalu terbakar oleh api yang tak terlihat asapnya, tetapi panas api itu dibawa ke mana-mana, menyebabkan rasa kesal, iri, benci, dan tidak tenteram”. Sebenarnya betapa tidak nyamannya memiliki sikap yang demikian itu, tetapi mengapa seringkali sikap seperti ini ”dimanjakan”?

Tidak mudah memang memiliki sikap menerima ini, apalagi apabila kita dalam keadaan ”menderita”. Hanya usaha yang sungguh-sungguh untuk merubah diri ke arah positif, sikap menahan diri akan muncul dalam diri kita. Seperti kata mutiara berikut: ”Barangsiapa benar-benar dapat bersyukur ketika menderita kesengsaraan, akan memperoleh ketenteraman”. Tentu perasaan yang demikian ini akan mampu dirasakan apabila syaratnya mau melatih menahan diri tercapai, dan apabila diusahakan dengan tekun pasti mampu merasakan hasilnya seperti yang tersebut di atas.

Dalam beribadah pun kita tetap harus memiliki sikap menerima/bersyukur, karena betapa pun rajinnya seseorang dalam beribadah, kadang-kadang juga masih merasakan jauh dari berkah Tuhan, apabila sikap bersyukur tidak digarap dengan baik.

Melatih kedua sikap sabar dan rasa syukur ini mau tidak mau harus dimulai dengan belajar mengendalikan nafsu negatif dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya nanti, apabila sudah terbiasa akan mudah bersyukur dan sabar tanpa dipaksa, yang berarti sudah menjadi sikap mental dalam diri kita.

Melatih diri dalam mengendalikan nafsu negatif, sangatlah luas manfaatnya terutama dalam pergaulan yang kerapkali terbentur godaan untuk berselisih dengan orang lain. Apabila kita menyadari akan hal ini dan mau belajar bersyukur serta sabar tentu bisa terlepas dari sebuah ”pertengkaran”.

Dalam upaya melatih memiliki sikap mental yang baik atau berwatak utama dalam pergaulan luas di masyarakat, bahkan dalam masyarakat kecil (keluarga) hindarilah semua perbuatan yang menyebabkan perselisihan atau membuat retaknya kerukunan (persaudaraan), seperti: dengki, iri, jail, banyak tipu muslihat, suka mengadu dan menghasut, membicarakan keburukan orang lain, suka memfitnah, mematikan nafkah orang lain, dan perbuatan serupa yang tergolong membinasakan. Sebab, sebenarnya sikap itu bukan watak manusia, tetapi watak setan yang menuntunmu ke jurang kesengsaraan (Ref. Sasangka Jati).

Jadi, dalam hal meningkatkan kemampuan kita untuk bisa “menahan diri” adalah apabila kita betul-betul berusaha mau merubah diri ke arah yang positif dengan banyak bersyukur dan mau mendengar orang lain yang pendapatnya tidak sama dengan diri kita sendiri. Jika kedua watak itu sudah kita miliki, maka kita mampu bergaul dengan orang lain dan selalu berupaya menghindari percekcokan, maka tentu kita pun menjadi orang yang ramah menghadapi segala hal yang berhubungan dengan orang lain. Dalam pergaulan hidup sehari-hari pun tentu tidak ada hambatan yang berarti, bahkan lancar-lancar saja, dan yang luar biasa serta tidak terpikirkan adalah kita disegani orang lain.

Serangkaian kalimat bijaksana tulisan Soenarto Mertoatmodjo patut kita renungkan: ”Orang yang senantiasa dihormati dan disegani adalah bukan karena pangkat dan hartanya. Pangkat dan harta adalah hanya barang sampiran yang tidak abadi, sedang umurnya mungkin lebih pendek daripada yang empunya. Jadi, bukan itulah yang menyebabkan orang disegani, tetapi tingkah lakunya yang selalu menyenangkan.”

Melatih “kemampuan menahan diri” yang didasari watak sabar dan pandai bersyukur akan membuat seseorang menjadi ramah, karena terbiasa memberikan senyum yang pasti menyenangkan banyak orang. Semua orang tidak terkecuali kita sendiri, pasti senang apabila diperlakukan dengan ramah.

Semua yang ditemui dihadapi dengan senang hati tanpa membeda-bedakan derajat dan kekayaan, serta mau menghargai orang lain”. Keramahan membuat orang lain merasa dihargai dan diterima. Keramahan bisa memecah kebekuan dan kekakuan suasana. Menghadapi pekerjaan yang selalu berhadapan dengan orang lain akan lebih bermakna apabila sikap ramah ini diterapkan. Ini semua diawali dari mau “Menahan Diri.” ***

CATEGORIES
TAGS