US$ 2-20 Per Day Tantangan Bagi Progam P3DN
Oleh: Fauzi Aziz
BALAPAN mobil FI sedang berlangsung di Singapura. Para penggemar lama dan muka-muka baru akan berbondong-bondong ke Singapura menonton FI. Mereka pasti golongan kelas menengah Indonesia yang saat ini pengeluaran per harinya berkisar antara US$2-20 per hari.
Mengapa mereka rela pergi ke Singapura sekedar nonton FI? Ada sejumlah alasan yang dapat direkam, antara lain iseng-iseng, kapan lagi bisa nonton FI langsung, padahal dalam hati kecilnya mungkin senang juga nggak. Nanti kalau pulang ditanya jawabannya, “uih seru banget”. Kuping sampai budek dengarinnya.
Alasan lain, kan ada tiket penerbangan murah dan penginapan murah. Hitung-hitung sama saja kalau kita plesiran ke Bandung atau ke Yogya. Sekali-kalilah ikut jalan-jalan ke Singapura. Belum lagi kalau ada great sale, lumayan iseng-iseng bisa belanja dengan harga discount. Itulah sekilas gambaran bagaimana cara menangkap peluang atas terjadinya peningkatan income masyarakat dan potensi perubahan gaya hidupnya kalangan kelas menengah.
One packet policy bussiness yang digerakkan oleh Singapura yang membuat orang suka jalan-jalan ke Singapura. Saingannya adalah Thailand yang tahun depan memproyeksikan akan menggaet kedatangan turis sebanyak 21 juta orang (bandingkan Indonesia yang hanya sekitar 8 juta orang).
Yang lain adalah Malaysia dan Hong Kong yang kurang lebih menjalankan konsep yang sama yaitu bagaimana memanjakan konsumen Indonesia yang sedang kemaruk berbelanja. Indonesia belum terlihat spektakuler dan gigih untuk memanjakan konsumen kelas menengahnya yang berjumlah 134 juta.
P3DN Belum Bunyi
Program P3DN belum bunyi ketika konsepnya dihadapkan pada kekuatan belanja konsumen yang besarnya hampir 60 persen dari GDB nasional. Terlambat menangkap potensi mereka, adalah ancaman bagi ketahanan neraca transaksi berjalan karena kalau dibiarkan, mereka akan menjadi pemboros devisa yang tidak kecil.
Amerika Serikat negara adidaya ekonomi dunia saja, sudah mulai menggarap potensi konsumsi domestiknya antara lain dengan menggelar Festival Made in Amerika. Belum juga menggaungkan semangat American buy American, meskipun kita tidak tahu hasilnya. Di Vietnam anda akan banyak menjumpai gerai-gerai yang secara khusus menjual produk Vietnam. Gerai itu diberi nama toko Made in Vietnam.
Progam ini paling tidak menggambarkan adanya kegalauan pemerintah AS karena semakin banyaknya barang dan jasa impor yang secara signifikan mengganggu produksi nasionalnya. Indeks manufakturnya tertekan dan indeks belanja konsumennya meningkat, tapi yang banyak dibeli adalah barang impor.
Indonesia sebenarnya mengalami hal serupa. Data BI memberikan deskripsi bahwa pada triwulan II 2012 jasa personal, kultural dan rekreasi defisit US$ 15 juta. Pada triwulan I 2012 hanya defisit US$7 juta. Angka ini memang kecil jika diperhitungkan dalam defisit jasa-jasa yang mencapai US$2,883. Tapi trendnya naik dan hal seperti ini patut diwaspadai juga. Pada triwulan I 2012, surplus jasa perjalanan masih mencapai US$ 678 juta, yang pada triwulan II 2012 turun menjadi US$ 197 juta.
Angka ini meski pun kecil, tetapi kesukaan orang Indonesia untuk jalan-jalan ke luar negeri sambil berbelanja jumlahnya makin bertambah. Apa pun alasannya, jalan-jalan ke luar negeri lebih mempunyai daya tarik sendiri ketimbang jalan-jalan dan berbelanja di negerinya sendiri.
Artinya negara-negara yang disebutkan tadi dalam rangka menumbuhkan ekonomi domestiknya mereka melakukan langkah promosi dan aksi yang luar biasa yaitu dengan memanjakan tamu-tamu asing yang secara by design dirancang secara profesional untuk selalu datang. Dalam setahun bisa empat kali mereka datang bersenang-senang dan berbelanja.
Tidak Ada Apa-apanya
Kembali ke program P3DN propertinya Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara tadi tidak ada apa-apanya paling tidak dalam hal cara memanjakan konsumennya yang pengeluaran belanjanya pada tahun 2011 hampir mendekati Rp 4.000 triliun. P3DN lebih kental dengan proyek APBN/APBD. Kegiatannya lebih banyak fokus menyelenggarakan pameran saja. Itu pun kalau diamati konsepnya tidak jelas.
Peserta pameran suka bertanya, mana pembelinya, kok sepi ya. Yang paling banyak dipamerkan lagi-lagi batik, tenun dan kerajinan. Di JHCC, produknya juga sama. Di kota-kota lain juga serupa tak sama. Pesertanya menyandang label L4 (Lu Lagi Lu lagi).
Panitianya barangkali tidak mau repot mencari peserta baru sehingga fasilitas APBN/APBD yang banyak terdapat di kementerian/lembaga atau dinas-dinas di daerah, lebih banyak dikeluarkan untuk membiayai para peserta L4 tadi. Lantas apa yang harus dilakukan agar progam P3DN dapat gelinding kencang.
Konsep P3DN itu sendiri perlu dimodifikasi yang cakupannya juga menjangkau pasar pariwisata Indonesia yang belum digarap maksimal. Sabang bisa digarap sebagai arena FI di Indonesia atau lomba speedboat skala dunia, di Danau Toba atau tempat lain yang memungkinkan. Kuliner Indonesia sangat kuat cita rasa dan ragamnya.
Batam bisa dikembangkan sebagai show case produk Indonesia termasuk kuliner untuk mengimbangi Singapura yang sudah sangat mapan untuk show case produk branded dunia. Bandung harus dijadikan showcase produk Indonesia di bagian tengah karena selama ini kota itu sudah sangat dikenal sebagai kota belanja.
Begitu seterusnya sehingga P3DN benar-benar dapat menjadi engine bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Konsumen memang tidak bisa dipaksa tapi bisa dipengaruhi dan dimanjakan dan dipuaskan. Maka dari itu tidak salah kalau konsumen disebut raja. Inpres 2/2009, baru sebatas perintah. Perpres 54/2010 dan Perpres No 70/2012 sebagai pengganti No 54, adalah aturan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, bukan aturan yang tepat “disisipi” untuk P3DN.
Ketentuan ini sangat prosedural dan hanya menjangkau bisnis APBN/APBD. Belum menjangkau bisnis GDB sebagaimana seringkali diungkapkan oleh presiden yang nilai pasarnya ribuan triliun. Dengan demikian perlu dirancang kebijakan yang pro-bisnis untuk bisa memberikan kesempatan kepada produsen dan konsumen bisa menikmati bisnis GDP di Indonesia, bukan negara lain yang bisa memberikan kenikmatan bagi konsumen kita yang dengan mudahnya mereka dapat menjangkau kebutuhan konsumen Indonesia dengan kegiatan promosi dan aksi konkret yang dijalankan oleh negara bersangkutan.
Kesimpulannya, P3DN seyogyanya menjangkau progam yang lebih luas, yakni mencakup bidang pariwisata, industri, perdagangan, pertanian, kelautan dan investasi. Kebijakan dan programnya satu dan menyatu. Misal setahun dua kali digelar Indonesian Festival (Food and Product dan yang kedua adalah Culture Festival). Melihat fenomenanya yang demikian maka progam P3DN harus dikemas dengan pendekatan konsep marketing. ***