Tata Niaga Impor Atau Tata Niaga dalam Negeri yang Jadi Masalah
Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
AYO, jangan buru-buru mengambil kesimpulan yang salah ketika saat ini kita sedang menghadapi masalah kenaikan harga bawang yang luar biasa tinggi. Dalam kasus bawang, menjadi surprise ketika kita baru tahu bahwa ternyata produksi lokal hanya mampu memasok 5% dan sisanya yang 95 %, dipenuhi dari impor.
Angka 5% dan 95% berarti sudah berlangsung lama dan harusnya kondisi pasarnya tidak akan terganggu, kecuali pasokan impornya langka karena produksi dunia gagal panen dan harga naik, sehingga berpengaruh terhadap suplai bawang di dalam negeri. Yang terbaca di media rasanya tidak ada isu kelangkaan pasokan impor. Yang ada harga bawang di dalam negeri naik di pasar manapun.
Dengan demikian, opini ini ingin mengatakan bahwa harga bawang naik, karena tata niaga di dalam negeri yang brengsek. Para pedagang besar, para tengkulak “bermain”melakukan aksi ambil untung tanpa pemerintah mampu meredam gejolak kenaikan harga, karena tidak memilki instrumen penangkalnya. Opini ini cenderung ingin mengatakan, pasar bawang di dalam negeri bersifat oligopoli dan cenderung dikuasai kartel, seperti juga kedelai.
Impor yang bobotnya mencapai 95% menjadi ruwet, karena pelayanan administrasi impor di Kementerian Pertanian bekerja lelet dan tidak sensintif dengan situasi yang terjadi di pasar.
Kalau 95% bawang masih harus diimpor, harusnya tata cara pengimporan dipermudah bukan malah “dihambat” dengan alasan, jumlah importir sangat banyak dan banyak pekerjaan administrasi yang harus diselesaikan. Alasan semacam ini tidak patut disampaikan ke publik, karena sangat teknis sifatnya.
Yang patut dijelaskan harusnya, mengapa produksi bawang hanya mampu memasok 5%. Semakin tidak bisa dimengerti, mengapa Kementerian Pertanian jadi sibuk mengurusi impor, padahal tugas utamanya adalah mengurusi produksi dan peningkatan produktivitas pertanian. Lain halnya kalau kondisinya terbalik, misalnya, pasokan produksi bawang di dalam negeri lebih besar dari impor, sehingga pantas kalau pemerintah mengendalikan pasokan yang berasal dari impor agar produksi lokal makin optimal. Ini impornya besar dan barangnya dibutuhkan masyarakat, tapi impornya “dihambat”.
Logika berpikirnya sebagai pengambil kebijakan publik terbalik-balik tidak karuan. Dalam kaitan masalah naiknya harga bawang, khakul yakin masalah besarnya lebih banyak terjadi setelah barang impor masuk di dalam negeri. Tata niaga di dalam negerinya yang buruk, tidak efisien.
Patut diduga, banyak pihak yang ingin memancing di air keruh dan melakukan aksi ambil untung di atas penderitaan rakyat. Bukan masalah tata niaga impornya yang salah. Yang salah dan bermasalah justru setelah bawang impor masuk ke gudang-gudang penimbunan di dalam negeri. Permintaan meningkat seperti deret ukur dan boleh jadi pasokannya hanya bertambah seperti deret hitung, sehingga terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri, tetapi early warning-nya sayang tidak jalan. Lagi-lagi berarti memang patut diduga manajemen penawaran dan permintaan bermasalah.
Selanjutnya, juga patut dipertanyakan mengapa produksi bawang nasional, yang bercocok tanamnya sudah ada sejak zaman VOC hingga sekarang, hanya mampu memasok sebanyak 5% dari total kebutuhan nasional. Buat yang awam tentang bertani terus terkaget-kaget mendengar berita ini. Masak hanya 5%, harusnya minimal 75%, karena sebagai rakyat biasa berasumsi, bahwa Kementerian Pertanian telah melaksanakan program-programnya dengan sangat berhasil.
Kalau sudah demikian, terus terang maaf, sebagai rakyat menjadi ragu dan tidak percaya, apa sesungguhnya yang dikerjakan Kementan yang saat ini mendapatkan dana APBN sebesar Rp 13 triliun lebih. Tidak salah kalau rakyat boleh “menggugat” pelaksanaan progam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Jauh lebih baik pada zaman orba dibandingkan sekarang ini.
Sebagai saran, patut disampaikan agar ke depan, Kementan tidak perlu lagi ikut-ikutan mengurusi impor atau perdagangan pada umumnya.Tapi, fokus saja menekuni tugas pokok utamanya, yaitu mengurusi progam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Kalau keasyikan mengurus impor akibatnya lupa mengurus produksi.Tahu-tahu dengan nada seperti tidak bersalah dan pak menterinya masih bisa senyum di kulum mengakui bahwa dalam soal bawang ini ternyata produksi nasional hanya sanggup memasok sebesar 5% dari kebutuhan. Astaga. ***