SOEHARI SARGO, Bersyukur, yang Dirintis Menghasilkan

Loading

Laporan: Redaksi

Soehari Sargo

Soehari Sargo

SOEHARI Sargo (79 tahun) bersyukur, karena apa yang dirintisnya sudah menghasilkan. Puluhan tahun lalu, dia aktif di kemiliteran dan kemudian dikaryakan di salah satu perusahaan. Ia dan perusahaan itu berjuang memproduksi alat-alat berat, seperti kendaraan pengeras jalan. Pada 1965, dia ikut mendirikan Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan cukup lama menjadi staf pengajar di sana. Pagi bekerja di pabrik dan sore mengajar.

Kini, Soehari dikenal luas sebagai pengamat industri otomotif. Ia menjadi narasumber beragam media massa yang ingin mengembangkan peliputan mengenai masalah industri otomotif. Ia pun sering diundang sebagai pembicara pada seminar dan diskusi. Belakangan, ia sering diminta oleh instansi pemerintah dan swasta (pengusaha) memberikan gagasan. Semua itu, dia jadikan pengabdian, bukan untuk mencari uang.

Perjalanan hidupnya jelas tak terlepas dari industri otomotif, yang memang amat disukainya, dan bagian dari komitmennya. Tampaknya “darah teknik” mengalir deras pada Soehari. “Empat generasi di atas saya bergerak di bidang perbengkelan,” katanya. Maka, ketika masih kanak-kanak, dia sudah akrab dengan aktivitas perbengkelan. Dan dia beruntung, karena pada tahun 1955 berhasil menapaki kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Mesin. Gelar insinyur diraihnya pada tahun 1960.

Warna perjuangan juga melekat pada diri Soehari. Pada masa perjuangan fisik melawan pemerintah Hindia Belanda, ia ikut memanggul senjata. Bahkan, rumah orangtuanya di Kediri (Jawa Timur) dijadikan sebagai markas laskar rakyat. Lantaran itu, dia bergaul erat dengan para pejuang dan kemudian ikut berjuang. Aktivitas di masa perjuangan itulah yang kemudian mengantarkannya menjadi tentara dan terakhir berpangkat mayor di Zeni.

Soehari tertawa dan menunjuk salah satu foto yang tergantung di dinding ruang tamu rumahnya di kawasan Cinere, Jakarta. Dalam foto itu tampak Soehari dan Jenderal Soeharto di Lubang Buaya, Jakarta Timur, ketika mengevakuasi jenazah Pahlawan Revolusi, Oktober 1965. Di bidang dinding yang sama, tergantung pula banyak foto. Semua foto pilihan, yang amat berarti bagi Soehari.

Pola Hidup Sederhana

Kisah-kisah heroik pada tempo dulu tampaknya membekas dalam pada diri Soehari. Terbukti, ketika keheroikan itu disinggung, ia dengan lancar menceritakan kisah pejuangan, terutama di kampung halamannya, Kediri. Kala itu, laskar rakyat silih berganti mampir di rumahnya, dan sedapat mungkin dibantu. Bagaimanapun mereka berjuang untuk kemerdekaan.

Lantaran itu, ketika masalah kekinian, salah satu di antaranya gaya hidup konsumtif, disinggung, Soerali teringat akan pola hidup sederhana yang dicanangkan pada masa Orde Baru. Sampai jumlah undangan resepsi pernikahan pejabat pun dibatasi. Sebaliknya, sekarang, banyak orang yang menyelenggarakan pesta pernikahan secara besar-besaran. Pada sisi lain, dia pun ikut prihatin, karena banyak pejabat yang masuk bui lantaran terlibat korupsi dan suap-menyuap.

Membicarakan sosok Soehari Sargo, tentu tak dapat dilepaskan dari sektor yang sejak awal digelutinya sampai sekarang, yakni industri otomotif. Ia konsisten berkiprah di sana, dengan harapan agar maju melampaui negara-negara yang sudah lama menjadi produsen otomotif. Ia bersedia berjam-jam membicarakan otomotif. Ia tergolong “vokal” menyoroti industri otomotif kita. Tapi, dia yakin industri otomotif kita akan dapat lebih cepat berkembang asal pemerintah ikut berinventasi. Nah, itu tentu bergantung pada para pemimpin. (ender/apul/sabar)

CATEGORIES
TAGS