Putusan MA “Macan Ompong”
Oleh: Marto Tobing
PUNCAK kepastian hukum pidana dan perdata sudah pasti berada di lembaga peradilan tingkat kasasi yakni di Mahkamah Agung (MA). Maka setiap putusan (vonis) yang ditetapkan oleh majelis hakim agung yang menyidangkan perkara, tentu saja menjadi harga mati yang tak mungkin lagi dapat ditawar-tawar sebagai upaya “perlawanan”.
Putusan majelis hakim agung itulah sebagai puncak kepastian hukum karena telah berkekuatan hukum tetap (incracht). Pengecualian yang sangat luar biasa jika pihak terpidana menemukan novum (bukti baru) maka dapat mengajukan peradilan Peninjauan Kembali (PK) kendati sebelumnya telah ditetapkan putusan peradilan kasasi. Sehingga langkah segeranya tentu saja mengeksekusi putusan sebagai kewenangan jaksa selaku eksekutor bagi terpidana. Dengan demikian, kepastian hukum dalam kaitan pidana telah tercapai secara de jure lebih-lebih secara de facto.
Sekarang yang menjadi masalah, bagaimana kepastian hukum dapat dicapai jika itu kaitannya menyangkut hukum perdata ?. Apakah kepastian hukum perdata hanya sekedar pencapaian yuridiksi tanpa wujud realisasi tindakan nyata bagi pemegang hak sebagai subjek hukum? Sebab faktanya sudah dua tahun lebih hak keperdataan 358 kepala keluarga yang terkena gusuran Cengkareng lokasi rumah susun itu dibiarkan terkatung-katung.
Padahal majelis hakim agung telah memerintahkan dalam amar putusan kasasi agar PT. Perum Perumnas segera membayar uang ganti rugi sebesar Rp 4.116.397.500 untuk seluruh kepala keluarga yang terkena gusuran. Namun perintah itu hanya sekedar tercatat berkas sebagai fakta de jure.
Ketiadaan instansi yang berkompeten sebagai eksekutor melaksanakan putusan majelis hakim agung tersebut adalah sebagai konsekuensi kaitan hubungan keperdataan, sehingga nilai keputusan incracht alias berkekuatan hukum tetap itu, hanya sekedar fakta yuridiksi yang tidak punya marwah. Jika kaitan hukum perdata hanya ada pada strata nilai moralitas seberapa peka harkat dan martabat para petinggi PT. Perum Perumnas untuk melaksanakan putusan majelis hakim agung sebagai kewajiban manusiawi yang beradab, itulah yang menjadi masalah.
Sebab menurut Ketua Umum Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Gerakan Rakyat Sadar Hukum Indonesia (LABH-GRASHI) Gelora Tarigan SH ketidak perdulian Dirut PT. Perum Perumnas atas hak warga itu sama saja telah melecehkan putusan MA. Putusan MA itu dianggap hanya sekedar suara mengaum tak ubahnya “Macan Ompong”. Padahal, hukuman untuk membayar ganti rugi itu sepenuhnya adalah sebagai pelaksanaan putusan perkara perdata No.209/Pdt.G/2004/PN.Jakbar yang diputus pada 8 Maret 2005 jo putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.626/Pdt/2008/PT yang telah diputus pada 30 April 2009 jo putusan MA No. 530 K/PDT/2010 yang diputus pada 21 Februari 2011. Beda halnya jika putusan MA ini misalnya kaitan hukum pidana maka dapat dipastikan kewenangan jaksa selaku eksekutor akan langsung bertindak memaksa terpidana melaksanakan putusan kasasi terkait.
Padahal putusan kasasi telah berkekuatan hukum tetap (incracht) itu juga telah diangkat sebagai alasan yang kuat sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Barat melakukan teguran (aan maning) yang bunyinya agar dalam tempo delapan hari terhitung sejak tanggal 1 November 2012 harus segera dilaksanakan dan diserahkan hak-hak warga itu sepenuhnya.
Namun lagi-lagi teguran itu tak digubris pihak PT. Perum Perumnas. Bahkan, jauh-jauh hari juga dalam rapat di antara Biro Hukum, Setda Provinsi DKI Jakarta dengan warga bersama LABH-GRASHI serta unsur PT. Perum Perumnas telah diperingatkan agar pihak PT. Perum Perumnas harus patuh hukum.
“Sangat disesalkan hingga saat ini Perum Perumnas seolah-olah tidak mau tahu dengan hasil rapat. Kami menjadi bertanya-tanya kemana lagi kami menuntut hak kami,” curhat Gelora Tarigan menanggapi tubasmedia.com.
Dalam analisa tubasmedia.com, ada baiknya warga mencoba menggulirkan kasus perdata ini ke rana hukum pidana. Mungkin bisa ditempuh sebagai konsekuensi hak keperdataan warga yang diabaikan karena cara penggusuran (pemaksaan) atas hak sepanjang kesepakatan ganti rugi belum diwujudkan pihak PT. Perum Perumnas.
Begitu digiring ke rana hukum pidana segera aparat polisi akan melakukan penyelidikan dan penyidikan dimana sangkutnya dana ganti rugi itu. Kemudian juga tidak tertutup kemungkinan keberadaan dana sedemikian besar itu bisa saja dilaporkan ke pihak kejaksaan atau KPK agar penyidikan lebih fokus ke arah kemungkinan ada tidaknya kaitan tindak pidana korupsi sekaligus mengetahui kebenaran keberadaan dana miliaran itu. Sejak saat itu dipastikan akan keberadaan eksekutor untuk mengeksekusi hak keperdataan warga. ***