Polisi, Jaksa dan Hakim Bersekutu “Mendirikan” Peradilan Sesat

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

POLISI, Jaksa dan Hakim yang bertugas di wilayah hukum kota Semarang Jawa Tengah, ditengarai telah “bersekutu” mendirikan “Peradilan Sesat”. Subjek hukum yang dikorbankan peradilan sesat itu adalah Sri Mulyati (SM) yang bekerja sebagai kasir di tempat hiburan karaoke. Ibu dua orang anak warga Semarang ini tanpa kesalahan apa pun “dipaksa” harus menjalani masa hidupnya selama 13 bulan di penjara. Namun slogan ”Sekali pun Langit Runtuh Keadilan Harus Tetap Ditegakkan” adalah upaya keras yang diperjuangkan LBH Mawar Saron hingga akhirnya berhasil merebut kembali kemerdekaan SM dari perampasan yang dilakukan aparat Mapolres Semarang, Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang, Pengadilan Negeri (PN) Semarang dan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah (PT. Jateng).

Atas perjuangan LBH Mawar Saron hingga ke tingkat peradilan Kasasi Mahkamah Agung (MA) itulah SM dinyatakan sama sekali tidak ada bukti yang dapat dijadikan alasan untuk menghukumnya. Mengakhiri amar putusan kasasi MA tersebut, Hakim Agung Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, Dr. Salman Luthan dan Dr. Suhadi langsung memerintahkan agar SM segera dibebaskan dari penjara. Kompensasi atas penderitaan SM mendekam selama 13 bulan di hotel prodeo itu benar memang diberikan.

Hanya saja nilai kompensasi sebagai ganti rugi sebesar Rp 5 juta itu dinilai sangat kurang manusiawi karena telah terlanjur mendekam selama 13 bulan di penjara atas kecerobohan aparat Mapolres Semarang, Kejari Semarang, PN. Semarang dan PT. Jateng. Sebelumnya, LBH Mawar Saron menggugat polisi dan jaksa membayar ganti rugi sebesar Rp 23 juta sebagai kompensasi atas kemerdekaannya dirampas selama 13 bulan di inapkan di penjara “Namun klien kami tidak mendapat ganti rugi yang layak atas apa yang dialami sejak ditangkap oleh anggota Mapolres Semarang pada Juli 2011 lalu itu,” keluh Guntur Direktur LBH Mawar Saron itu bernada protes atas putusan pengadilan hanya mengabulkan Rp 5 juta.

Duduk perkaranya, SM sebagai kasir tempat kerjanya dengan gaji Rp 750 ribu per-buan di sebuah karaoke di Semarang itu, distatuskan sebagai tersangka karena mempekerjakan anak di bawah umur. Atas tuduhan itu SM dijerat dengan UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. Namun tuduhan itu akhirnya dimentahkan oleh hakim agung di tingkat peradilan kasasi MA. Sebab SM hanyalah karyawan dan tidak punya akses mempekerjakan anak di tempat karaoke. Sebelumnya SM dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh PN Semarang kemudian diperberat menjadi 1 tahun penjara oleh PT. Jateng.

Hukuman badan ini diperberat lagi dengan hukuman denda Rp 2 juta. Menurut LBH Mawar Saron, untuk membayar denda itu keluarga SM harus cari pinjaman dengan harapan bisa lebaran bersama keluarga. Namun setelah dibayar harapan itu sirna. Sebab SM harus mendekam di penjara 1 bulan lagi total menjadi 13 bulan. Titik cerah baru dirasakan saat SM dibebaskan oleh ketiga hakim agung itu pada Juli 2012. Atas apa yang diderita, lalu SM pun menggugat.

Didampingi LBH Mawar Saron, SM menggugat Jaksa dan Polisi agar mengganti Rp 1 juta sebagai uang ganti rugi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 pasal 9 ayat 1. Juga Rp 2 juta uang denda yang telah dibayar dan Rp 2500 biaya perkara. Kemudian SM juga menggugat Rp 12 juta gaji sesuai UMR Semarang x 13 buan masa kerja. Namun gugatan ini ditolak PN Semarang. Di tingkat banding, PT. Semarang menganulir dan mengadili sendiri yaitu memberikan ganti rugi Rp 5 juta kepada SM serta mengembalikan denda terlanjur telah dibayar SM Rp 2 juta ke negara dan mengembalikan biaya perkara Rp 5 ribu yang juga sebelumnya telah dibayar SM ke negara.

Vonis ini berkekuatan hukum tetap setelah MA tidak menolak kasasi jaksa pada 6 Januari 2014. Namun siapa nyana meski telah 7 bulan berlalu, SM belum mendapat apa yang menjadi haknya. Bagi orang kecil seperti SMi hanya bisa pasrah. “Yah mau bagaimana lagi,” kata Guntur

Direktur LBH Mawar Saron, kuasa hukum SMi saat dimintai konfirmasinya oleh Tubas di Jakarta, Jum’at (22/8). Padahal ganti rugi tersebut sangat jauh dari rasa keadilan, 13 bulan harus mendekam di penjara dinilai sangat tidak pantas diganti dengan uang Rp 5 juta.

Apalagi hal itu telah menimbulkan kerugian immaterial berupa traumatik, kebebasan dan nama baik serta martabatnya di masyarakat. “Yang terpenting dari kasus ini adalah supaya menjadi pembelajaran bagi polisi dan jaksa lebih profesional, menjadi cambuk supaya mereka tidak mengulangi perbuatannya,” ujar Guntur. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS