Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah harus Berbasis TP2DN, Bukan TKDN

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

JUDUL opini ini dibuat untuk memberikan sebuah prespektif dan sekaligus menegaskan bahwa kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diatur dalam Perpres No 54/2010 yang kemudian disempurnakan dalam perpres No 70/2012 spiritnya harus dimodifikasi.

Misi utamanya harus ditegaskan bahwa belanja pemerintah pusat/daerah dan BUMN/BUMD serta lembaga negara lainnya adalah merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya menggerakkan kegiatan ekonomi domestik. Pemerintah yang sangat berkepentingan, sudah sepatutnya harus membuat kebijakan pengadaan barang dan jasa yang bersifat afirmatif agar misi tersebut dapat berjalan secara efektif.

Secara eksplisit berarti semua pengadaan barang dan jasa pemerintah yang selama ini diatur dalam kedua peraturan presiden tersebut tidak sekedar hanya mengatur tata cara dan prosedur sebagai titik beratnya. Tetapi seharusnya lebih menekan agar setiap rupiah yang dibelanjakan melalui mekanisme APBN/APBD benar-benar efektif mengggerakkan sektor produktif di dalam negeri.

Esensinya adalah nilai TKDN bukan ditempatkan posisinya sebagai salah satu persyaratan tender pengadaan barang dan jasa, tapi TKDN harus menjadi faktor nilai kebijakan dasar yang bersifat strategis yang secara substansial menjadi mainstream dari kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dengan demikian berarti TKDN tidak lagi dibaca secara teknis sebagai capaian atas proses industrinya dalam standar persentase tertentu dan kemudian menjadi bagian dari persyaratan lelang. Yang lebih penting justru untuk mengukur seberapa besar setiap Kementrian/Lembaga(K/L) telah berhasil membelanjakan APBN/APBDnya secara optimal dengan tingkatan serapan TKDNnya masing-masing.

TKDN disini berarti untuk mengukur seberapa besar total dari nilai belanja barang dan barang modal dan belanja lainnya memilki nilai TKDN tertentu dari segi penggunaannya oleh K/L bersangkutan. Hal ini berarti konsep TKDN harus dibaca dan difahami sebagai Tingkat Penggunaan Produk Dalam Negeri (TP2DN). Dengan postur kebijakan yang seperti ini, implementasinya jauh lebih sederhana karena yang dilihat adalah hanya persentase penggunaan barang dan jasa dalam negeri oleh K/L.

Sistem insentifnya tidak diberikan kepada pemasok, tetapi diberikan kepada pengguna anggaran melalui sistem reward dan punishment. Kebijakan semacam ini juga harus diatur secara eksplisit dalam UU APBN atau perda propinsi/kabupaten/kota tentang APBD.

Kementrian Perindutrian tetap mempersiapkan daftar inventarisasi barang berapun TKDNnya, termasuk nama dan alamat produsen dan distributor dan sub distributor di seluruh Indonesia, beserta daftar tingkat harga pasar setelah PPN. Prosedur dan tata cara pengadaan pada dasarnya tetap sama seperti yang berlaku saat ini dengan berbagai kemungkinan untuk dilakukan penyederhanaan tanpa harus mengorbankan azas good governance. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS