Penadah BBM Bersubsidi “Menyiram” Perkara..?

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

PARA tersangka dalam kasus apa pun, apabila dijerat pasal kejahatan yang didakwakan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, maka bagi jaksa, wajib untuk menghentikan kemerdekaan setiap tersangka dari ruang lingkup alam bebas. Para tersangka yang terancam hukuman minimal itu harus segera dijebloskan ke ruang sel tahanan.

Namun ketentuan yang sudah baku itu ternyata tidak diberlakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Saida Hotmaria br Butar-Butar ini terhadap Cepriyadi alias Cicip kendati atas kejahatan yang dipersangkakan itu Cepriyadi terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara. Faktanya, Cepriyadi dikenal dengan sapaan Cicip itu tidak ditahan mungkin karena “sesuatu” hal sehingga mengikat kedua belah pihak atas dasar pegangan trachtat (perjanjian lisan) yang tentu saja saling menguntungkan baik di pihak JPU mau pun di pihak terdakwa dalam hal ini Cicip.

“Terus terang kami curiga ada apa jaksa bersekutu dengan hakim tidak menahan terdakwa. Padahal atas kejahatannya itu terdakwa diancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 60 miliar,” keluh petugas penyidik Polres KP-3 Pelabuhan Tanjung Priok Jakut yang pada saatnya akan dihadapkan ke ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) sebagai saksi verbalisan (penyidik).

Di hadapan ketua majelis hakim Lilik Mulyadi SH, JPU Saida Hotmaria Butar-Butar SH dari Kejari Jakut menuding terdakwa Cicip sebagai penadah dan penjual Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi tentu saja secara illegal. Terdakwa warga Jalan Swasembada Kelurahan Kebon Bawang, Kecamatan Tanjung Priok Jakut ini didakwa melanggar pasal 53 huruf b UU No.22 tahun 2001 tentang kejahatan atas peredaran Minyak Bumi dan Gas (Migas) terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan juga terancam hukuman denda sebesar Rp 60 miliar.

Modus operandi kejahatan bisnis ilegal yang dilakukan terdakwa itu terungkap pada 28 Maret 2012. Terdakwa membeli BBM bersubsidi jenis solar dari kapal service boat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakut sebanyak 28 dirigen dengan harga Rp 120.000 per-dirigen. Rencananya, dari hasil tadahannya itu, Cicip kemudian akan menjualnya kembali kepada konsumennya selaku pelanggan tetap seharga Rp 150.000 per-dirigen.

Sehingga untuk setiap dirigen Cicip akan meraih keuntungan Rp 30.000. Ada pun lingkup pemasaran yang dituju antara lain ke wilayah Kali Baru, Cilincing Jakut. Selanjutnya, pengiriman bisnis ilegalnya itu dilakukan Cicip dengan menggunakan angkutan mobil Carry. Saat ditangkap polisi persisnya pada 28 Maret 2012 di Jalan Padamarang Pos III akses keluar-masuk Pelabuhan Tanjung priok Jakut, dari “tangan” terdakwa ditemukan barang bukti sebanyak 28 dirigen dan 1 unit mobil Carry. Saat itu juga Cicip langsung digelandang ke ruang sel tahanan Polres KP-3 Pelabuhan Tanjung Priok Jakut. Namun oleh JPU dibebaskan menjadi status tahanan luar dan hakim pun seirama dengan terdakwa dan JPU.

Komandan Satgas Pengawas dan Pengendalian BBM Bersubsidi Badan Pengawas Hilir Migas, Joko Siswanto mengimbau agar para penegak hukum diharapkan turut berperan aktif sesuai fungsinya. Lebih-lebih hakim yang kebetulan sedang menangani kasus penyelewengan BBM Bersubsidi, jangan sampai terkontaminasi pengaruh upaya para terdakwa “menyiram” perkaranya agar “berlumuran” minyak pelicin.

Kondisi yang sangat memprihatinkan. Pantauan tubasmedia.com mencatat, hingga saat ini telah terjadi 720 kasus penyelewengan penggunaan BBM Bersubsidi di seluruh Indonesia. Menjawab pertanyaan tubasmedia.com, Joko mengaku belum bisa menyebut totalitas volume BBM Bersubsidi yang diselewengkan. “Jumlahnya terus bertambah. Sering ditemukan kasus-kasus baru. BP Migas akan terus melakukan sosialisasi dan berbagai upaya pencegahan untuk menurunkan angka penyelewengan,” ujar Joko seraya mengisyaratkan bahwa, kerugian negara yang timbul akibat ulah penyelewengan BBM Bersubsidi itu ditaksir mencapai Rp 119 miliar.

Menurut Joko, kejahatan itu muncul akibat adanya perbedaan harga atau disparitas antara BBM Bersubsidi dengan BBM Non Subsidi. Penyelewengan melakukan penimbunan BBM Bersubsidi untuk kemudian dijual ke industri, khusus solar dengan disparitas mencolok. Perbedaan harga mendorong sejumlah masyarakat semakin berani melakukan penyelewengan, baik itu penimbunan mau pun pengoplosan juga dijual kepada industri. Kasus-kasus penyelewengan BBM Bersubsidi paling banyak terjadi di Kalimantan, Sumatera, Batam dan Riau. ***

CATEGORIES
TAGS