Naik Kelas, Sesudah Itu Jadi Apa?
Oleh Fauzi Aziz
PEMBELAJARAN adalah sebuah proses. Semua pembelajaran dilakukan agar dapat “naik kelas”. Sebagai misal kita lihat Indonesia. Negeri ini berdasarkan dimensi waktu pernah menjadi negara jajahan. Kemudian atas perjuangan seluruh komponen bangsa, Indonesia naik kelas menjadi bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Perjalanan menjadi negara berkembang, yang pasarnya sedang tumbuh setelah 70 tahun mengenyam kemerdekaan dengan beragam masalah yang dihadapi bangsa ini di berbagai bidang.
Sambil berbenah mengatasi masalah, pada saat bersamaan sudah ada yang memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, Indonesia akan menjadi sebuah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar nomor 6 di dunia. Artinya, negeri ini akan mengalami naik kelas menjadi negara maju. Dilihat dari dimensi waktu, Indonesia aktif melakukan pembelajaran tiada henti. Berproses lintas generasi untuk meraih cita-cita kebangsaannya untuk menggapai kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. Inilah nilai paling hakiki sebuah perjalanan naik kelas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran untuk bisa naik kelas hukumnya menjadi wajib. Sebab kalau tidak bisa naik kelas, apa jadinya bangsa ini. Karena naik kelas hukumnya wajib, sesuai dengan judul tulisan ini, muncul pertanyaan, “Naik kelas, sesudah itu jadi apa ?” Jawabannya mudah sekali dan hanya ada satu jawaban, yakni agar kita, bangsa dan Negara, menjadi lebih baik.
Inilah gambaran naik kelas yang paling paripurna, dan inilah jawaban fundamental untuk menjawab pertanyaan “naik kelas, sesudah itu jadi apa”. Kita harus mempercayai bahwa manakala pada 2050 Indonesia diproyeksikan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar nomor 6 di dunia, maka pembelajaran harus dilakukan. Fondasi, sendi-sendi, dan pilar-pilar bangsa dan negara ini tentu harus dipelihara agar tetap kokoh dan kuat agar naik kelasnya tetap menjadikan bangsa Indonesia yang bermoral, bermartabat, berperadaban tinggi dan berkeadilan.
Pembelajaran yang tidak boleh dilewatkan adalah saling mengingatkan di antara sesama warga bangsa agar moral bangsa ini terjaga dan bisa berprestasi dengan baik dalam mengurus negeri ini. Demokrasi yang sudah diraih jangan disalaharti kan dan disalahgunakan, sehingga yang tumbuh subur justru saling curiga, dan malah melahirkan budaya permusuhan. Yang semacam ini adalah cermin pembelajaran yang keliru. Dan dalam situasi semacam itu, berarti belum bisa dikatakan sebagai yang naik kelas, karena pembelajarannya bersifat kontra produktif.
Oleh karena itu, siapa pun yang diberi kepercayaan menjadi pemimpin di Indonesia, apa pun kedudukannya, baik di pusat maupun di daerah, harus bisa menjaga sikap dan tindakan. Jangan sampai salah arah membawa Indonesia untuk meraih cita-cita kebangsaannya. Kalau diproyeksikan pada 2050 akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 6 di dunia, hal itu bukan karena peran modal asing. Indonesia menjadi kekuatan ekonomi di dunia, karena berhasil melakukan pembelajaran dengan baik dan pantas naik kelas atas usaha sendiri.
Bukan karena dinaikkelaskan, padahal fondasi, sendi-sendi, dan pilarnya belum kuat dan kokoh. Dinaikkelaskan adalah sebuah ancaman, karena berarti Indonesia dalam posisi “terjajah kembali”. Kita harus melakukan proses pembelajaran yang benar supaya tidak turun kelas.
(Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri)