Menerabas Mentalitet Buruk
Oleh: Fauzi Aziz
BAGI yang pernah membaca buku yang ditulis almarhum Prof Dr Koentjoroningrat berjudul “Mentalitet Pembangunan”, pasti akan mengenal istilah yang menjadi judul tulisan ini. Dari bukunya yang terbit dan beredar di tahun 1970-an, kita akan mendapatkan salah satu pernyataan hasil penelitiannya bahwa bangsa Indonesia selain memiliki mentalitet pembangunan yang baik, juga ada yang tidak baik, yakni “mentalitet suka menerabas”.
Makna secara harafiah dalam bahasa Inggris kira-kira adalah shortcut. Kita bisa memaknai kata menerabas yang berarti cara berfikir instan. Atau boleh jadi dalam kekinian bisa dikatakan sebagai model pendekatan cara berfikir dan bertindak pragmatis. Yang penting ada hasilnya, soal bermanfaat atau tidak, urusan belakang.
Pun boleh jadi termasuk mentalitet suka melanggar norma, tata aturan hukum formal dan sebagainya.
Mentalitet menerabas berarti menjadi bersifat kontraproduktif bagi pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Paling tidak hal yang kasat mata sering kita lihat adalah ketika sebuah UU dianggap tidak sesuai dengan semangat pembangunan dan dirasakan menjadi penghambat, maka dalam ketergesa-gesaan, pemerintah mengeluarkan Perppu.
Padahal penerbitan Perppu memiliki persyaratan berat, yakni bisa dibuat kalau ada kondisi kedaruratan/kegentingan.
Dalam konteks yang lain dapat pula kita jumpai dalam keseharian bahwa mau menjadi kaya rela bertindak koruptif sehingga “budaya korupsi” makin merajalela.
Mentalitet menerabas bagi yang menyukainya dianggap hal yang biasa, tak peduli lingkungannya akan menjadi seperti apa. Mentalitet menerabas dalam cara berfikir dan bertindak adalah cermin sikap yang tidak menyukai keteraturan dan ketertiban.
Sikut kanan sikut kiri untuk mencapai tujuan. Misal terlihat dalam hal mendapatkan jabatan tertentu di pemerintahan, sampai rela berkorban menyogok dan menjatuhkan kawannya sendiri. Dalam satu konsep pembangunan, berarti mentalitet suka menerabas tak akan pernah mampu membangun fondasi yang kokoh karena orientasinya hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat.
Dalam iklim demokrasi yang belum matang, mentalitet menerabas bisa tumbuh subur, apalagi ketika in-power, sikap keakuannya akan muncul. Hidup dalam lingkungan mentalitet menerabas boleh jadi sistem yang dengan susah payah dikembangkan dapat saja diterabas karena dianggap menghalang-halangi apa yang menjadi kehendaknya.
Pertanyaan kita apakah mentalitet suka menerabas itu benar-benar buruk bagi kepentingan apapun. Ya, itu benar. Sikap suka menerabas adalah mentalitet yang buruk karena secara umum hasil pekerjaan dengan model tabrak kanan tabrak kiri cenderung akan menyisakan masalah, baik secara politis, yu ridis, sosiologis maupun teknis.
Apa bedanya dengan breakthrough (biasa disebut dengan pemikiran dan tindakan terobosan). Dalam konteks breakthrough, dimensi pikirannya lebih berorientasi pada upaya mencari cara baru untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembangunan atau di bidang lain.
Ada nilai tuntunan pikiran dan tindakan kreatif dan inovatif dalam proses breakthrough. Spiritnya adalah mengubah sistem lama yang tidak efisien dan berbelit-belit. dengan membuat sistem baru yang lebih baik dan efisien.
Kalau menerabas, kesannya lebih cenderung melanggar norma atau aturan, atau dengan cara “membuldozer” supaya keinginannya terpenuhi. Dalam contoh yang telah disampai-kan di depan, misal mengubah UU dengan menerbitkan Perppu supaya kepentingannya terpenuhi, meskipun syarat kedaruratannya tidak terpenuhi.
Dalam kasus demikian, tindakan tersebut lebih pas disebut sebagai short cut daripada disebut tindakan yang bersifat break through. Karena mentalitet suka menerabas kita yakini buruk, maka alam pikiran dan tindakan siapapun yang bisa dilabeli “suka” menerabas” harus dihapuskan meskipun tidak mudah.
Apa lagi negeri ini sudah kita deklarasikan dalam konstitusi sebagai negara hokum sehingga kita harus tunduk kepada hukum, maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat sehingga kita bisa bekerja dengan cara yang tertib sesuai kaidah-kaidah hukum, code of conduct yang berlaku.
Suri teladan yang baik dan benar dari para elit dan pemimpin di negeri ini menjadi penting karena salah satu cara mengikis habis mentalitet yang suka menerabas dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, termasuk perilaku di masyarakat itu sendiri.
Jangan sampai gara-ga ra mentalitas suka menerabas ini mendapatkan pembenaran, negeri ini menjadi chaos dan akhirnya hancur karena banyak sistem yang dibuat, tapi terlalu banyak pula yang dilanggar (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).