Memilih
Oleh: Edi Siswoyo

Ilustrasi
KETUA Mahkamah Konstutisi (MK) Mahfud MD kembali melontarkan sentilan kerasnya. Kali ini menyoroti kinerja kepolisian yang disebutnya masih tersandera kekuatan politik, sehingga kerap mandeg saat mengusut kasus-kasus besar.
“Kasus-kasus besar banyak yang hilang di tangan Polri. Ini karena Polri disandera oleh kekuatan politik dan masa lalu sehingga tidak bisa bergerak,” kata Mahfud pada seminar “Selamat Tinggal Politik Transaksional, Selamat Datang Politik Bermartabat” yang digelar pekan lalu di Jakarta.
Apa yang dilontarkan Pak Mafud itu bukan hal yang aneh. Kita sudah tahu–mungkin juga–merasakan sendiri kalau melapor ke polisi. Misalnya, melaporan kehilangan ayam harus siap-siap kehilangan kambing. Kenapa?
Tidak ada penjelasan dan yang pasti masyarakat kecewa terhadap sikap Polri yang hanya bisa menerima laporan tapi tidak bisa menangkap pencuri ayam. Bisa jadi itu karena jumlah polisi yang terbatas dan soal biaya dalam pelaksanaan tugas polisi melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat.
Tentu, tidak selamanya begitu. Pada kasus-kasus tertentu (pilihan) polisi bergerak cepat melakukan penyidikan dan penyelidikan. Misalnya, kasus perampokan bank atau terorisme. Tapi, fakta menunjukan polisi bersikap alon-alon asal klakon terhadap kasus Bank Century, “pencurian” Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), “perampokan”–korupsi–dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Bekanja Daerah) dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Boleh jadi sikap Polri terhadap kasus tersebut yang membuat Pak Mahfud MD kesal dan mengatakan polisi masih tersandera kekuatan politik, sehingga kerap mandeg saat mengusut kasus-kasus besar. Kasus-kasus besar banyak yang hilang di tangan Polri karena Polri disandera oleh kekuatan politik dan masa lalu sehingga dia tidak bisa bergerak.
Benar, apa yang dilontarkan Ketua MK itu merupakan–berdasarkan–fakta yang ada dan berkembang di masyarakat. Pak Mahfud boleh kesal dan masyarakat juga tidak dilarang kecewa. Sebab, kesal dan kecewa itu konstitusional dan pertanda intelektual. Hanya orang dungu yang tidak bisa membedakan mana loyang dan mana emas. Fakta itu “suci” dan tidak semua yang faktual harus diungkapkan.
Memang, kebenaran harus ditegakan. Orang arif dan bijak mengingatkan dalam menegakan kebenaran perlu ada pertimbangan yang bersifat kontekstual. Artinya, tidak boleh sembarangan. Harus ada pilihan karena kebenaran sosial itu bersifat relatif. Gitu aja kok repot, kata almarhum Gus Dur! ***