Laut Timor Masih Tercemar

Loading

Oleh: Canisius Maran

ilustrasi

ilustrasi

BEBERAPA waktu lalu, Universitas Nusa Cendana (Undana) bersama Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) menggelar seminar bertaraf internasional dengan tajuk, “Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi Lingkungan Akibat Meledaknya Kilang Minyak Montana di Laut Timor pada Tahun 2009”.

Seminar yang digagas Fakultas Hukum Undana itu, menghadirkan pembicara utama, Robert B. Spies dari California, AS, Ketua Tim Peneliti Kasus Exon Valdes 1989 di Teluk Alaska, Senator Rachel Siewert dari Western Australia Senate, Muchtasor, anggota Dewan Energi Nasional, Greg Phelps, pengacara YPTB, yang berkedudukan di Darwin.

Dalam sambutannya, Rektor Undana Frederik L. Benu, mengatakan, sebagai lembaga pendidikan, Undana terpanggil memberikan kontribusi terhadap pemecahan persoalan tersebut dengan memberi tekanan akademik agar pihak yang berkepentingan segera menuntaskannya.

Bupati Rote Ndao, Drs. Lems Haning, M.Si., mengatakan, sejak 2009, masyarakat di wilayahnya menangis, karena hasil usaha mereka di laut menurun drastis akibat meledaknya kilang minyak Montana (Pos.Kupang.com).

Akibatnya, bukan hanya terjadi pencemaran laut, juga pelanggaran batas laut, pemanasan global, dan curah hujan tidak menentu. Kasus ini, menurut Bupati Rote Ndao, sudah diketahui pemerintah pusat, namun mereka tidak pernah mencari solusi untuk segera mengatasinya.

Topik Media

Isu meluasnya pencemaran di perairan Laut Timor akibat gagalnya upaya penyumbatan kebocoran minyak di Blok West Atlas Ladang Gas Montara, yang meledak pada 21 Agustus 2009, telah menjadi topik di berbagai media daerah, nasional, dan internasional, pas pada saat Jakarta sedang heboh dengan kasus kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah pemerhati lingkungan Australia memuat iklan layanan masyarakat di media cetak Australia untuk menggugah pemerintah Australia dan operator ladang gas Montara agar segera memulihkan lingkungan di Laut Timor.

Kilang yang dioperasikan PT Exploration and Production Australia (PT EPA) di Blok West Atlas, perairan Australia, bocor dan karena terbawa arus dan gelombang laut menyebabkan tumpahan minyak memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Siapa yang bisa menerka dengan pasti dalam angka dampak terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir, ketika hasil tangkapan ikan dan produktivitas rumput laut menurun? Belum terhitung dampak negatif terhadap kehidupan di laut berikut kerusakan mata rantai makanan (food chain) akibat terganggunya ekosistem kelautan.

Kita masih ingat bagaimana Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta selaku Wakil Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, mengatakan, Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor akan melanjutkan proses negosiasi ke Perth. Juga optimismes Menteri Perhubungan Freddy Numberi saat itu bahwa PT EPA akan membayar ganti rugi Rp 3 triliun lebih, karena perusahaan tersebut tidak mempersoalkan besaran asal didukung data akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimana sikap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan SDM, dan Kementerian Luar Negeri? Dan di mana pula LSM besar yang selama ini gencar mengkritik kerusakan lingkungan hidup termasuk isu-isu pencemaran dalam skala global? Kita pun tidak melihat intervensi pemerintah daerah untuk mendorong kementerian terkait untuk segera mengatasi masalah ini.

“Fishing Ground”

Laut Timor adalah laut terbuka dalam zona maritim dan merupakan jalur perjalanan cakalang dan tuna dari Samudra Pasifik. Laut Timor di perairan NTT, seturut hasil studi JICA (Japan International Cooperation Agency), merupakan areal tangkapan (fishing ground) dan budi daya. Bukan hanya nelayan NTT, tetapi banyak nelayan dari Sumbawa dan Lombok telah memanfaatkan Laut Timor sebagai tempat mencari ikan.

Kita menunggu sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia dalam mengelola arah pembangunan kelautan sesuai UU No 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional, 2005-2025.

Terutama, bagaimana perencanaan pembangunan Indonesia mengadopsi pembangunan yang berbasis ekonomi biru, yang diharapkan mampu menyelaraskan kepentingan sosial-ekonomi, dan ekologi, sehingga pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.

Pertanyaan kita sekarang, apakah ada calon presiden mendatang yang memasukkan isu pencemaran Laut Timor ke dalam progam kerjanya? (Penulis adalah Co-Founder Inditera (Institut Studi Potensi Daerah)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS