Kesenjangan Koq Dipelihara

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

KESENJANGAN atau gap selalu ada dan muncul silih berganti dalam fenomena kehidupan. Senjang antara si kaya dan si miskin, senjang antar wilayah dan juga senjang dalam tingkat pendapatan. Kesenjangan-kesenjangan seperti itu atau bisa mewujud dalam bentuknya yang lain pada dasarnya selalu berada dalam kutub yang head to head saling berhadap-hadapan.

Begitu terjadi kesalahan dalam memahaminya dan juga salah cara berkomunikasinya, bisa berakibat fatal. Apalagi jika di kutub yang posisinya kuat diwarnanai sikap arogansi dan keras kepala, maka kefatalan tadi bisa berakibat lebih lanjut yakni terjadi kekrisuhan sosial yang wujudnya yang paling mengerikan adalah menyulut “permusuhan” dan “perlawanan” pisik yang destruktif.

Faktanya sudah banyak terjadi akhir-akhir ini, tanpa harus lagi menyebutnya satu persatu. Eric Maskin, penerima hadiah Nobel 2007 yang sekarang ada di Jakarta dalam rangka menjadi pembicara dalam konferensi Asosiasi Pembangunan Manusia dan Kapabilitas, menyatakan pertumbuhan ekonomi tidak menjamin kesejahteraan.

Secara tegas dia mengatakan bahwa mengandalkan PDB tidak akan menyelesaikan persoalan ketimpangan yang melebar, meskipun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Patut digarisbawahi, bahwa ini adalah warning dan sekaligus secara empirik diakui bahwa pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada akselerasi pertumbuhan tidak serta merta akan menghasilkan kesejahteraan yang merata.

Artinya, kita semua harus makin sadar dan makin cerdas dan bijaksana, terutama para pengambil kebijakan publik di bidang ekonomi, tidak boleh bersifat gegabah untuk selalu mengatakan bahwa hanya dengan membangun sistem ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, bisa menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.

Kalau premis ini terus-terusan dipakai, maka sejatinya para pengambil kebijakan telah masuk dalam perangkap jebakan yang sebenarnya sadar atau tidak, telah melahirkan kepemihakan kepada kaum yang kuat/pemodal dan “abai” terhadap kepentingan sekelompok orang yang kebetulan posisi tawarnya secara sosial dan ekonomi, lemah dan marginal.

Sadar atau tidak, maka dari situlah cikal bakal terjadinya kesenjangan bersemai. Pasalnya, dalam situasi yang seperti ini, biasanya pihak yang lemah diminta pihak penguasa untuk “berkorban” demi dan atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Lahan yang mereka miliki dan kuasai secara turun temurun atas nama adat dan hak ulayat, tidak dihargai dan mereka diminta untuk melepaskan haknya atas nama pembangunan dengan ganti rugi yang kadang-kadang tidak seberapa nilainya.

Makin sering dilakukan dengan pola yang seperti itu, ditambah lagi kondisi perpolitikan di dalam negeri terbungkus oleh sikap pragmatisme transaksional yang korup, kesenjangan itu terasakan seperti dibiarkan saja terjadi. Alias kesenjangan itu “secara politis” dipelihara karena boleh jadi di sisi kutub sosial yang lemah dan termarjinalkan itu bisa dimobilisasi untuk propaganda politik yang akan digunakan mengalahkan lawan politiknya.

Kesenjangan yang terbungkus dengan persoalan primordialisme yang sempit sangat berpotensi melahirkan sikap perlawanan dan ancaman untuk memisahkan diri dari NKRI karena permasalahan sosial ekonomi kelompok yang marginal, merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasa. Solusinya, kesenjangan tidak boleh “dipelihara” dan para pengambil kebijakan publik tidak boleh “sembrono” asal ucap seperti tidak difikir bahwa akibat ucapannya yang salah atau tidak pas dengan situasi yang terjadi di masyarakat, seperti kasus Sampang, bisa mengeruhkan situasi.

Misalnya dengan mengatakan mereka yang minoritas harus direlokasi. Mau dipindah kemana? Dan mau hidup dengan cara apa di tempatnya yang baru. Sementara di tempat asalnya mereka mempunyai hak yang sama sebagai keluarga besar masyarakat Sampang, dimana tempat mereka tinggal selama ini adalah lahan milik mereka sendiri.

Maka dari itu, jangan waton njeplak kalau membuat pernyataan di publik. Penguasa adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Jadi tidak gegabah dan ceroboh bersikap dan bertutur kata. UUD 1945 pasal 33 dan 34 secara konstitusional sebenarnya telah memberikan solusi, tapi derevasinya dalam bentuk kebijakan belum sepenuhnya selaras dengan semangat konstitusi.

Lebih lanjut berdasarkan semangat ketauhidan dari agama manapun juga, telah diberikan resep yang jitu bagaimana mengatasi kesenjangan. Semangat perlu saling berbagi, saling membantu, saling menghargai dan menghormati serta saling memberikan kesempatan dan saling memuliakan adalah satu inti ajaran ketauhidan yang paling universal.

Tapi manusia memang punya banyak kelemahan. Namun tidak berarti harus membiarkan kesenjangan dibiarkan terjadi karena berlindung di balik alasan bahwa dari zaman dulu kesenjangan selalu ada. Tidak bijaksana alasan seperti itu kita jadikan pembenaran. Maka dari itu, mari lebih baik kita selesaikan masalah kesenjangan ini jangan sampai menjadi bencana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di republik yang kita cintai.

Ada dua pilar kebijakan negara yang ke depan harus mendapat perhatian yang sama dan selaras derajatnya, yakni Kebijakan Ekonomi (KE) dan Kebijakan Kesejahteraan Sosial (KKS). Kedua kebijakan itu harus merupakan bentuk kesepakatan seluruh komponen bangsa, tidak boleh menjadi hak monopolinya pemerintah saja atau lembaga legislatif saja. Semoga negeriku aman, damai dan sejahtera.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS