Kaum Femina Tak Lagi Feminim, Gesturnya Pancarkan Aura Korupsi
Oleh: Marto Tobing

ilustrasi
SEBERAPA bahayanya ancaman terjadinya bencana sosial, ekonomi, pendidikan, hukum dan keamanan sebagai dampak biadab kejahatan korupsi, namun bagi pelaku, terutama para aktor intelektual-nya, situasi “darurat” ancaman bencana nasional ini, nyatanya bagi kaum Femina itu nggak berpengaruh apa-apa.
Bisa dibayangkan berapa banyak uang negara yang seharusnya disalurkan untuk kesejahteraan rakyat, oleh sedikitnya 170 kepala daerah (menurut sumber Kemendagri-red) justru diselewengkan masuk saku pribadi, jaringan dan kepentingan partai politik. Jika dihitung kasat mata, dari setiap dana alokasi APBD dan APBN yang dikorupsi para kepala daerah itu masing-masing minimal Rp 10 miliar saja, maka tidak heran jika bencana sosial, ekonomi, pendidikan, hukum dan keamanan semakin rawan maka “goncangan dahsyat hanya menunggu “bom waktu” itu saatnya meledak.
Sebab biadab korupsi tak pandang bulu, pokoknya babat habis. Semakin biadab karena tak lagi berpengaruh kekufuran usia kendati menyatu dengan gengsi jabatan, semua itu dicampakkan demi limpah harta kekayaan pribadi dan kroni. Pelakunya? Tidak lagi terlalu penting membedakan soal jenis kelamin. Apakah itu dilakukan kaum pria atau pun wanita nyatanya sama ganasnya.
Kurang apa mulianya jika jabatan gubernur itu benar-benar oleh Ratu Atut Chosyah dipaterikan di lubuk hatinya sebagai amanah. Sumpah jabatan yang diucapkannya di bawah kitab suci Al Qur’an selama dua periode (2003-2013) beraninya dia hianati. Dialah Gubernur wanita pertama di Indonesia yang terjerat korupsi. Akhirnya orang nomor satu di daerah Banten itu menyerah ketika penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan statusnya sebagai tersangka.
Atut memang belum dinyatakan terbukti bersalah karena kewenangan vonis itu hanya berada di meja persidangan Pengadilan Tipikor. Namun melihat serangkaian kasus yang dituduhkan, Atut bakal sulit lolos dari jerat hukuman berat. Sebab bagi KPK tidak ada kamus terdakwa korupsi lolos dari hukuman. Peranan Atut yang dipersangkakan, memberi uang suap kepada Akil Mochtar (AM).
Saat itu AM menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang menangani kasus sengketa pilkada Lebak Banten. Saluran uang suap itu diserahkan melalui adik kandung Atut bernama Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Selain terkait sengketa pilkada Lebak Banten, Atut juga dituduh melakukan korupsi di proyek Pengadaan Alat-alat Kesehatan (Alkes) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten. Selanjutnya, KPK juga sedang melakukan penyidikan kejahatan korupsi dana Bansos Banten.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Atut adalah sosok wanita yang kuat berani dan disegani. Pengaruh Atut tak terlepas dari ayahnya Abah Chasan pengusaha kontraktor CV. Sainar Ciomas. Berkat pengaruh ayahnya itulah Atut berhasil meraih kursi nomor satu di Provinsi Banten. Sayangnya, Atut terkesan berperilaku semena-mena dengan pengaruhnya itu.
Apalagi predikat Jawara Banten juga berhasil dia sandang setelah terpilih menjadi Gubernur selama dua periode. Selama itu pulalah Atut dan keluarganya bermain proyek hingga mengeruk uang negara untuk kepentingan dinasti dan jaringan keluarga. Anak, sepupu, menantu dan keponakan menduduki posisi penting di pemerintahan. Tapi sepandai-pandai Tupai melompat akhirnya jatuh juga. Dinasti keluarga itu mulai runtuh satu persatu tatkala KPK berhasil menangkap Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik kandung Atut) saat menyuap AM.
Hasil pengembangan penyidik akhirnya Atut ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dijebloskan KPK ke sel tahanan No.13 Rutan Pondok Bambu pada Jumat (20/12). Dalam ruangan sel Atut ditempatkan sekamar dengan lima tersangka kasus pencurian dan penipuan. Sang “Ratu” yang biasa dikenal berani itu justru menangis tersedu-sedu saat penyidik memutuskan untuk menahannya. Atut tampak loyo tak berdaya saat memasuki mobil tahanan menuju Rutan Pondok Bambu tentu saja dipakaikan rompi warna oranye bertuliskan “Tahanan KPK”.
Benar kejahatan luar biasa ini tidak lagi menakutkan bagi kaum Femina. Masih mendekap di balik jeruji besi, Artalyta Suryani alias Ayin divonis 5 tahun penjara. Pengusaha perempuan ini terbukti menyuap Urip Tri Gunawan, Jaksa yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mindo Rosalina Manulang mantan Direktur Pemasaran PT. Anak Negeri terlibat kejahatan korupsi terkait proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang menyuap Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam akhirnya divonis 2 tahun 6 bulan penjara. Angelina Sondakh, anggota DPR Fraksi Partai Demokrat ini terjerat kasus Wisma Atlet SEA Games divonis 12 tahun penjara.
Neneng Sri Wahyuni terlibat kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nunun Nurbaeti istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur BI pada tahun 2004. Nunun dituduh pihak yang memberi 480 cek pelawat kepada sejumpah anggota DPR periode 1999-2004. Miranda Swarai Goeltom sama kasusnya dengan Nunun. Miranda dinyatakan terbukti sebagai sumber dana suap cek pelawat pemilihan Gubernur BI atas pencalonan dirinya sendiri.
Masih soal kejahatan kaum Femina menyangkut suap dalam alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) untuk tiga kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam. Anggota DPR dari Fraksi PAN, Wa Ode Nurhayati mendekam di penjara selama puluhan tahun terbukti menerima uang Rp 6,250 miliar dana Percepatan Pembangunan Insfratrukstur Daerah Transmigrasi di Kemennakertrans.
Dharnawati divonis 2 tahun 6 bulan penjara terbukti memberi suap kepada dua pejabat Kemenakertrans agar mendapatkan DPID. Lebih menyedihkan lagi kasus suap yang menjerat wanita bernama Imas Dianasari. Perempuan ini menjabat sebagai hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Internasional Bandung divonis 6 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan dinyatakan terbukti menerima suap untuk memenangkan perkara PT. OI yang bersengketa dengan serikat pekerjanya. Kaum Femina ini sudah tidak feminim lagi gesturnya pancarkan aura korupsi. ***