Ironi Parpol Menjelang Pemilu 2024, Berlomba Merayu Tokoh dan Bandar
Oleh: Sutrisno Pangaribuan
KALAU enggan disebut seluruhnya, kita katakan saja sejumlah partai politik kini berlomba merayu tokoh dan bandar. Tidak peduli apakah tokoh dan bandar itu memiliki kemampuan untuk duduk di kursi empuk DPR sana. Yang penting tujuannya hanya untuk mendongkrak elektabilitas parpol tersebut dan dapat mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pileg (Pemilihan anggota legislatig).
Nama kesohor, kantong tebal, is oke…yang lain sepertinya tidak akan perlu dipersoalkan. Para pimpinan Parpol hanya melihat isi tas, bukan kapasitas dan bukan pula kualitas.
Sandiaga Uno baru saja diterima menjadi kader di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah dia loncat dari Gerindra. DPP PPP sangat berharap, dengan bergabungnya Sandi pada Pemilu 2024 dapat menyumbang tambahan suara PPP sekitar 3-4 persen. Menurut survei terakhir, elektabilitas PPP berada di angka 4,1 persen untuk ambang batas parlemen. Maka dengan Sandi, elektabilitas PPP diharapkan lebih dari 8 persen. Bahkan sudah ditawarkan menjadi Cawapresnya Ganjar Pranowo. Namun PDIP masih belum memberi jawaban sebab masih sibuk dengan suasana pertemuan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga telah resmi menjadi kader Partai Golkar sejak Rabu (18/1/2023). Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto langsung memberikan jabatan wakil ketua umum sekaligus co-chair Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar. Kang Emil diberi tugas khusus menggalang pemilih untuk memenangkan pemilu dan memperkuat posisi Golkar di Jawa Barat.
Kita lihat juga dengan Sekretaris Dewan Pembina PSI, sekaligus Wakil Menteri ATR/ BPN, Raja Juli Antoni yang mulai menggadang-gadang Kaesang Pangarep untuk menjadi Depok Satu. PSI telah memasang berbagai bahan kampanye di jalan- jalan protokol kota Depok. Tulisan “PSI Menang Kaesang Walikota” melengkapi wajah putra bungsu Jokowi itu di sepanjang jalan.
Partai Hanura juga demikian. Secara resmi menyatakan dukungan tanpa syarat kepada Ganjar Pranowo untuk menjadi calon presiden di Pemilu 2024. Ketua Umum Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) mengatakan, Partai Hanura sejalan dengan PDIP terkait dukungan untuk Ganjar.
Pragmatisme Partai Politik
Sejak Pilkada dan Pilpres diselenggarakan secara langsung, Parpol terus berlomba mencari sosok calon yang dianggap mampu memberi keuntungan dan dampak elektoral terhadap Parpol. Sosok yang dicari tidak harus se-idiologi. Bahkan tokoh yang pernah menjadi “seteru politik” sebelumnya, kemudian dapat dijadikan “sekutu politik”.
Partai Nasdem sebagai die hard Ahok di Pilkada 2017 melawan Anies Rasyid Baswedan, kini menjadi Parpol pertama dan utama pendukung Anies di Pilpres 2024.
Partai Amanat Nasional ( PAN) dalam dua kali Pilpres selalu di kubu lawan Jokowi, yakni Prabowo Subianto. Namun setelah Pilpres usai, PAN langsung merapat dan dapat ganjaran menteri oleh Jokowi. Demikian juga dengan Partai Golkar dan PPP di Pilpres 2014 mendukung Prabowo, langsung mengubah dukungannya pasca kekalahan Prabowo, juga diganjar menteri oleh Jokowi.
Semua Parpol tanpa terkecuali berlomba mencalonkan artis, bahkan Aldi Taher diajukan sebagai bacaleg oleh dua partai. Ironisnya, justru ada pengurus partai yang tidak percaya diri bertarung sebagai caleg. Bahkan maju sebagai calon perseorangan menjadi calon Anggota DPD RI. Persyaratan mundur sebagai pengurus Parpol sebagai syarat utama, hanya dijadikan syarat administrasi.
Faktanya, pengurus Parpol tersebut hingga saat ini masih aktif dalam kegiatan Parpol. Mereka beralasan bahwa syarat mundur sudah dibuat, soal pengunduran diri diterima, itu urusan Parpol.
Meski sebagian Parpol mengumumkan bakal calon presiden (bacapres), baik Prabowo Subianto, Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, semua masih akan berubah, sekalipun Parpol “kegenitan” membuat “piagam perjanjian”, menandatangani “nota kesepahaman atau kesepakatan”.
Namun demikian, hingga pasangan capres dan cawapres didaftarkan ke KPU RI, semuanya masih abu- abu.
Pembelahan politik pasca reformasi selalu berada pada dua kutub, ikut penguasa atau antitesa. Demikian juga saat ini, saat mayoritas Parpol “jinak” kepada Jokowi, maka di kubu pemerintahan, semua mengambil posisi aman, menunggu perintah dan arahan Jokowi.
Bahkan, meskipun Jokowi sejak semula telah memberi isyarat akan mendukung Ganjar, semua bacapres dan Parpol masih berharap “belas kasihan” Jokowi. Sementara “kubu antitesa” masih gaduh karena tim delapan tidak kunjung mengumumkan bacawapres ARB.
Rakyat Jenuh dan Muak
Pemilu (Pileg dan Pilpres) 2024 direncanakan akan digelar pada Rabu (14/2/2024), sementara Pilkada direncanakan diselenggarakan pada Rabu (27/11/2024) namun antusiasme rakyat sama sekali tidak meningkat.
Jika ada kegiatan bacapres di berbagai kota dan daerah, semua masih terlihat diorganisir oleh Parpol dan relawan pendukung. Antusiasme rakyat tidak lagi terasa, partisipasi publik semakin jauh. Rakyat sudah jenuh dengan seremoni deklarasi, semakin muak dengan sosialisasi tanpa isi.
Jika peserta Pemilu yakni, Parpol, perseorangan, pasangan calon tidak mampu menyajikan ide, gagasan dan program politik yang “baru”, akan ditinggal rakyat. Rakyat akhirnya marah dengan tidak bersedia menggunakan hak pilihnya.
Kongres Rakyat Nasional ( Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, mendorong terus partisipasi rakyat serta memaksa Parpol untuk mengubah perilaku dan kebiasaannya. Untuk itu Kornas menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, Parpol gagal menghasilkan calon-calon pemimpin. Akibatnya Parpol sangat ketergantungan pada popularitas para kandidat. Selain kekuatan calon, Parpol juga menghitung potensi dukungan dana
dari calon untuk digunakan menggerakkan mesin politik Parpol. Selain ketokohan, alasan kuat dukungan Parpol kepada Sandiaga Uno, Erich Thohir adalah kekuatan logistiknya.
Kedua, Parpol sebagai lembaga milik publik sebagai penerima dana rakyat melalui APBN dan APBD harus transparan dalam tata kelola partai dan keuangan partai. Sebagai lembaga milik publik, Parpol tidak dapat dikelola sebagai “perusahaan pribadi, keluarga, kelompok, atau golongan”.
Ketiga, harus ada upaya dan tindakan konkret dari pemerintah untuk memastikan Pemilu 2024 lebih baik. Liberalisasi demokrasi akibat lemahnya Parpol membuat Pemilu bukan sebagai pertarungan ide, gagasan dan program politik. Para calon menjual isi tas, bukan kapasitas dan kualitas. Maka Kornas meminta Presiden mengeluarkan Perpu Pemberantasan Politik Uang dalam Pemilu.
Keempat, kontestasi harus meningkatkan rasa persaudaraan dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Maka dibutuhkan komitmen dari penyelenggara, pengawas, peserta Pemilu dan pemerintah untuk Pemilu yang berkualitas.
Semua pihak harus menghindari penggunanan politik identitas dan pemanfaatan ikatan – ikatan primordial serta eksploitasi SARA. Untuk itu Kornas meminta Presiden menerbitkan Perpu Pelarangan Penggunaan Politik Identitas, Pemanfaatan Ikatan- Ikatan Primordial, dan Eksploitasi SARA dalam Pemilu.
Kornas akan mendorong agar Pemilu sebagai pesta demokrasi yang dilaksanakan tiap lima tahun sekali, harus dijadikan sebagai momentum konsolidasi demokrasi, silaturahmi politik dan gotong royong nasional. (Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional – Kornas tinggal di Jakarta)