Industri Plastik Masih Hadapi Kendala Sekitar Bahan Baku

Loading

WORKSHOP – Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA), Achmad Sigit Dwiwahjono (tengah) saat memberi pengarahan pada pembukaan ‘’Workshop Pengembangan dan Tantangan Industri Plastik Degradable’’ di gedung Kemenperin, Rabu. Dirjen IKTA didampingi  (dari kiri ke kanan)’ Direktur Industri Kimia Hilir, Teddy Caster Sianturi, Deputy Dua Kemenko Maritim, Agung Kuswandono, Basuki mewakili Bea Cukai dan Sudirman mewakili KLH. -tubasmedia.com/sabar hutasoit

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Prospek industri plastik di Indonesia cukup potensial untuk dikembangkan. Pasalnya, industri plastik merupakan industri vital dengan ruang lingkup hulu, antara hingga hilir, selalu dibutuhkan oleh industri lain dan memiliki variasi produk yang sangat luas.

Hal itu dikatakan Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono pada acara Workshop Pengembangan dan Tantangan Industri Plastik Degradable di Jakarta, Rabu (3 Mei 2017).

Industri plastik, khususnya produk plastik hilir, lanjut Dirjen IKTA, memiliki potensi untuk dikembangkan karena konsumsi kian meningkat dan aplikasi yang luas untuk sektor industri lain.

Namun kata Sigit, dalam pengembangannya, industri plastik nasional masih dihadapkan pada kendala pasokan bahan baku yang belum mencukupi, baik dari segi kuantitas, maupun spesifikasinya, sehingga sebagian masih impor.

Namun demikian, tambahnya, empat produsen utama bahan baku plastik (PT Chandra Asri Petrochemical, PT Lotte Chemical Titan, PT Pertamina dan PT Polymtama Propindo) terus berupaya meningkatkan kapasitas produksinya.

Selain itu, industri plastik juga juga tengah dihadapkan pada isu lingkungan hidup karena sifat bahan plastik yang sulit untuk diurai oleh mikro organisme.

‘’Tapi saat ini sudah dikembangkan bahan plastik ramah lingkungan yang mudah terurai yang disebut degradable,’’ jelasnya.

Namun kata Dirjen, kebanyakan bahan baku untuk plastik degradable ini masih menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan tidak hemat energi sehingga relatif lebih mahal.

Dikatakan bahwa Indonesia hingga saat ini baru memiliki satu produsen plastik degradable berbasis pati singkong dan khitosan dengan kapasitas produksi 6.600 ton per tahun dan satu lagi berbasis berbasis plastik konvensional dengan aditif oxium.

Selain tantangan dalam pemenuhan bahan baku, menghadapi Masyarakat Ekonmi ASEAN (MEA) dan isu lingkungan hidup, Kemenperin kata Sigit memberikan dukungan dan mendoirong pertumbuhan industri plastik nansional sehingga mampu bersinergi dan terintegrasi melalui kerjasama antar stakeholder, penerapan SNI dan kebijakan lain yang mendukung daya saing agar bisa bersaing di pasar internasional dan menjadi tuan di negeri sendiri. (sabar)

CATEGORIES
TAGS