Harmonisasi dan Implementasi Regulasi, Mendesak

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

HARMONISASI dan implementasi regulasi adalah dua hal yang amat mendesak untuk dibereskan. Harmonisasi regulasi diperlukan karena semua pihak membutuhkan, baik pemerintah, penegak hukum, dunia usaha dan masyarakat. Harmonisasi yang diperlukan adalah peraturan perundangan yang satu dengan yang lain harus sinkron dan saling menguatkan, bukan malah sebaliknya, atau dalam bahasa populer sering dikenal dengan istilah tumpang tindih.

Jika hal demikian terjadi ,maka persoalan yang timbul menjadi sangat serius. Aspek kepastian hukum sudah pasti tidak terjamin. Dampak yang terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum juga bisa menjadi sangat serius. Antara lain kalau dalam dunia investasi dan bisnis, para investor/calon investor akan bersikap wait and see untuk merealisasikan proyeknya.

Di dalam pelaksanaan pasti banyak terjadi dispute. Akibat adanya dispute, terjadi sebuah kebiasaan buruk untuk diselesaikan “secara adat” yang sangat potensial terjadinya moral hazaard. “Biayanya” pasti mahal karena penyikapnya akan mengarah ke perbuatan yang tidak patut, yakni sogok dan suap.

Masalah ini yang sampai hari ini masih menjadi pusat episentrum terjadinya high cost economy akibat harmonisasi regulasi tidak ada. Pekerjaan membenahi masalah ini memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan DPR karena disharmonisasi regulasi ini pusat gempanya terjadi di ranah undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Masalah di implementasi lain lagi pokok pangkal penyebabnya. Salah satu yang menonjol dan bersifat umum adalah lemahnya koordinasi antar instansi. Hal yang lain adalah persepsi pemahaman terhadap sebuah aturan pelaksanaan juga lemah. Para pembuatnya biasanya tenggelam dalam proses legal draftingnya yang amat mendalam.

Akibatnya ketika masuk dalam ranah perumusan tata cara pelaksanaan keasyikan masuk ke persyaratan yang bersifat rigid sehingga aspek kewenangan petugas di semua lini proses makin kuat, tetapi nilai releksasi dari aspek pelayanannya menjadi lemah karena proses birokrasinya tetap panjang.

Isu releksasi hanya terjadi di level kebijakan tetapi tetap saja ketat dalam proses dan tata caranya dengan alasan untuk mencegah penyalah gunaan atau alasan lain. Contoh paling konkret adalah pelayanan restitusi PPN. Kebijakannya misal ditetapkan paling cepat 1 bulan, tapi prakteknya lebih dari satu bulan.

Akibatnya cash flow perusahaan pasti akan terganggu. Kembalinya juga tidak utuh 10%, pada umumnya restitusi yang diterima kembali kurang dari 10%, biasanya pada kisaran 7%. Indonesia memang menganut sistem tax credit. Sistem ini sebenarnya baik asal ditunjang oleh sistem pelayanan administrasi yang efisien.

Akibatnya sebagian besar para pengusaha lebih menyukai sistem yang bersifat final di setiap lini proses perpajakan. Jadi inilah problema yang masih mengganjal di negeri ini yaitu masih banyak terjadi trade off antara kebijakan/regulasi dengan aspek implementasinya.Sehingga muncul tudingan bahwa kebijakan publik di negeri ini kualitasnya tidak baik karena dinilai tidak banyak memberikan kontribusi terhadap penyelesaian berbagai masalah di lapangan.

Sepertinya pemerintah gemar mengulang pekerjaan yang sama atau merupakan bagian dari masalah ketimbang berperan sebagai bagian dari solusi. Masalahnya ada di depan mata dan isunya juga sudah semua terekam karena sudah berulangkali disampaikan secara terbuka oleh masyarakat dan dunia usaha.

Pekerjaan rumah ini yang semestinya menjadi prioritas nasional yang harus digarap untuk diselesaikan.Proyek-proyek investasi pemerintah maupun swasta banyak yang terganjal pelaksanaannya karena hambatan regulasi dan implementasinya. Kedepan kantor Menko Perekonomian lebih baik fokus membenahi aspek regulasi dan implementasinya, khususnya di bidang ekonomi. ***

CATEGORIES
TAGS