Drama Hukum AA Hutang Moral Presiden SBY

Loading

Oleh: Marto Tobing

Antasari Azhar (AA)

Antasari Azhar (AA)

AKHIR drama proses perjalanan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen (NZ) hingga menjebloskan Antasari Azhar (AA) ke balik jeruji besi sudah dua tahun berlalu namun masih melekat sebagai hutang moral bagi supremasi penegakan hukum yang dikumandangkan di era kepemimpinan Presiden SBY. Diasumsikan sebagai drama karena terus saja muncul fakta-fakta baru sehingga semakin telanjang ada skenario besar di balik kasus.

Jika rekayasa itu terungkap maka ketukan palu vonis 18 tahun penjara oleh ketua majelis hakim Herry Swantoro di PN Jaksel pada 11 Februari silam bukan akhir dari episode drama panjang itu. Saat ini mantan Ketua KPK itu sedang menyiapkan novum dalam Peninjauan Kembali (PK) atas vonis tersebut.

Bahkan perilaku majelis hakim yang memenjarakan AA itu pun mulai diteropong Komisi Yudisial (KY). Hasilnya ditemukan adanya indikasi pelanggaran profesionalitas hakim karena mengabaikan keterangan ahli balistik dan forensik Abdul Mun’im Idris (AMI) dan mengabaikan bukti baju NZ saat dibunuh tak dihadirkan di persidangan.

AMI di depan KY 25 April silam, mengungkapkan perbedaan antara jumlah peluru yang bersarang di tubuh korban dan menemukan kondisi mayat korban yang sudah dimanipulasi saat tiba di RSCM. Ahli forensik ini juga mengungkapkan fakta, adanya permintaan dari penyidik untuk menghilangkan data-data diameter peluru dalam hasil visum.

Dalam keterangan yang dipublikasikan secara luas di berbagai media terungkap 10 kejanggalan selama proses persidangan tingkat pertama baik di PN Jaksel mau pun di PN Tangerang. Kejanggalan pertama penyitaan peluru dan celana jeans NZ tanpa menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap peluru tapi tidak terhadap mobil NZ.

Kejanggalan kedua berdasarkan visum peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua peluru 9 mm dengan ulir ke kanan. Padahal fakta bahwa bekas peluru ada pada kaca segitiga mobil NZ yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Bahkan menurut saksi Suparmin, supir korban, bosnya itu roboh ke kanan.

Kejanggalan ketiga diungkapkan AMI, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun keterangan ahli senjata Roy Harianto bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan sudah rusak, salah satu silindernya macet. Saksi ahli senjata itu juga menegaskan, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu hanya bisa dilakukan setelah latihan sebanyak 3000-4000 peluru.

Kesaksian Jeffrey Lumampouw (JL) dan Elza Imelda Fitri (EIF) disebut Maqdir sebagai kejanggalan berikutnya. Kedua saksi menyebut dalam SMS tertulis nama AA sebagai rekaan dan pendapat hasil pemikiran bukan fakta. Ada 2005 SMS ke HP NZ yang tidak jelas pengirimnya dan 35 SMS ke HP AA tidak jelas sumbernya. Saksi ahli Dr. Agung Harsoyo menegaskan tidak ada SMS dari HP AA kepada NZ. Selain itu chip HP NZ yang berisi SMS ancaman rusak tidak bisa dibuka.

Kejanggalan kelima, dalam pertimbangan PN Tangerang, Eduardus dan Hendrikus hanya sebagai penganjur sedangkan dalam pertimbangan PN Jaksel AA, Sigit Haryo Wibisono dan Wilardi Wizar (WW) sebagai pelaku dan penganjur.

Kejanggalan keenam, pertimbangan majelis hakim perkara AA (halaman 175) menyatakan “Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya sebagaimana keterangan saksi Parmin di persidangan”. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS