Djoko Sarwoko Mengaku Penegakan Hukum Carut Marut

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko menilai yurisprudensi tetap yang membolehkan jaksa kasasi vonis bebas perlu dipertahankan. Apalagi untuk perkara-perkara korupsi yang kerap membebaskan terdakwanya. Bila kran kasasi terhadap vonis bebas ini ditutup, maka dikhawatirkan akan menciderai keadilan bagi masyarakat.

“Dengan memperhatikan kondisi carut marut penegakan hukum seperti sekarang ini, menurut hemat saya masih sangat relevan untuk mempertahankan kasasi terhadap vonis bebas,” katanya pada seminar ‘Menggali Alasan dan Dasar Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas’ di Jakarta, Selasa (10/7).

Djoko membantah bila MA dikatakan dengan mudah menerima kasasi terhadap vonis bebas. Berdasarkan data yang disampaikannya, pada 2010 ada 203 perkara kasasi terhadap vonis bebas/ontslaag yang masuk ke MA, 98 perkara (48,28 persen) dikabulkan, dan 86 perkara (42,28 persen) tidak dapat diterima.

Pada 2011, ada 163 perkara kasasi terhadap vonis bebas/ontslaag yang masuk ke MA, 85 (52,15 persen) perkara yang dikabulkan, dan 62 perkara (38,04 persen) dinyatakan tidak dapat diterima. “Dari data tersebut menggambarkan bahwa tidak semua putusan bebas yang dikasasi dikabulkan oleh MA, sebagian dinyatakan tidak dapat diterima,” katanya.

Pro kontra kasasi terhadap vonis bebas oleh jaksa penuntut umum masih menuai kontroversi hingga saat ini. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit yang menolak. Pasal 244 KUHAP memang melarang kasasi terhadap vonis bebas. Namun, jaksa kerap menggunakan yurisprudensi MA sebagai dasar hukum mengajukan kasasi terhadap vonis bebas yang terkesan mengenyampingkan KUHAP itu.

Sebelumnya, Jaksa Agung Basrief Arief yang tampil sebagai keynote speaker mengakui wacana atau perdebatan ini terus berkembang di kalangan praktisi hukum. “Yang menolak paling ramai dari penasehat hukum dan berpendapat seharusnya tak ada kasasi terhadap putusan bebas,” ujarnya ketika menjadi

Ia mengungkapkan perdebatan boleh atau tidaknya kasasi terhadap putusan bebas bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Dalam praktek di beberapa negara, lanjutnya, mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas dikaitkan dengan apa yang disebutdouble jeopardy. Artinya, kurang lebih sama dengan asas ne bis in idem yang dilarang di Indonesia.

Perbedaannya, ne bis in idem sebagaimana dimaksud Pasal 76 KUHP bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama, yang sebelumnya sudah diputus oleh hakim. Sedangkan double jeopardy adalah suatu prosedur dalam pembelaan bagi terdakwa bahwa ia tak dapat diadili lagi berdasarkan dakwaan yang sama berdasarkan suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Basrief menjelaskan beberapa negara yang melarang adanya double jeopardy tetap memperbolehkan jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Misalnya, Piagam Hak dan Kebebasan Kanada yang melarang adanya double jeopardy tetapi pelarangan ini baru bisa diterapkan terhadap putusan yang bersifat final. “Sehingga penuntut umum masih dapat melakukan upaya hukum atas putusan bebas,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menjelaskan dasar kasasi terhadap putusan bebas adalah yurisprudensi MA. Dalam yurisprudensi MA itu, putusan bebas diklasifikasikan menjadi dua, yakni bebas murni dan bebas tak murni. Yang bisa diajukan kasasi oleh jaksa adalah putusan bebas yang tak murni.

Indriyanto mengakui di Belanda memang diperbolehkan jaksa mengajukan upaya hukum terhadap vonis bebas. Namun, pembatasannya ketat dan pembuktiannya tak gampang. “Di Belanda dari 100 perkara (upaya hukum terhadap vonis bebas) mungkin hanya satu yang dikabulkan hakim. Karena sulit sekali membuktikan bebas murni atau tidak murni,” ujarnya.

Ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Ia menilai penegak hukum di Indonesia, baik jaksa maupun hakim, seakan mudah sekali menentukan suatu perkara itu bebas tak murni. Bahkan, setiap ada vonis bebas, jaksa seringkali langsung menyatakan kasasi tanpa terlebih dahulu mengkaji putusannya. “Di Indonesia ini sepertinya terlalu gampang,” ujarnya.(roris)

CATEGORIES
TAGS