Di Kejati DKI Masih Terjadi “Penyelundupan” Pasal KUHP

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

LEMBAGA penegak hukum yang statusnya permanen sesuai konstitusi menganut sistem trias politika sebagai acuan tata negara kerangka menjalankan roda pemerintahan negeri ini, dilekatkan hanya ada pada tiga lembaga kewenangan yakni Kepolisian (penyidikan), Kejaksaan (penuntutan) dan Pengadilan (persidangan).

Ada pun keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilegitimasi tidak berlaku permanen tapi distatuskan secara ad hoc. Tugas dan kewenangan KPK pun di-lex spesialis-kan hanya untuk menangani kejahatan korupsi yang pada akhirnya bermuara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan tidak lagi ke Pengadilan Negeri (PN).

Pertanyaannya, mengapa tugas dan kewenangan menyangkut kejahatan korupsi itu, secara khusus diberikan hak seluasnya menjadi porsi yang diutamakan pada lembaga KPK? Mengapa kejahatan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dengan nilai miliaran rupiah pada angka tertentu justru harus “digeser” dari kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan menjadi kewenangan KPK?

Bahkan persidangannya pun tidak lagi di PN tapi secara khusus ditangani Pengadilan Tipikor. Jawabnya boleh jadi, salah satu penyebabnya adalah menyangkut tingkat kepercayaan profesionalisme atas kinerja atau komitmen para oknum yang ada di jajaran Kepolisian dan Kejaksaan termasuk para hakim di PN jelas sudah berada pada titik nadir.

Kendati di sana-sini pembenahan management reformasi kinerja para penegak hukum itu telah dilakukan, namun sementara ini tampaknya baru sebatas wacana. Etos reformasi penegakan hukum itu tetap saja tidak beranjak selama sistem managemen birokrasinya masih feodalistik. Kalau pun bergerak masih sebatas jalan ditempat.

Bisa dibayangkan apa jadinya jika diibaratkan polisi lalu-lintas justru melanggar rambu-rambu lalu-lintas, yang nota bene aturan yang dibuat institusinya sendiri justru ditabrak. Keniscayaan itu pula yang terjadi di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Terungkap di ruang sidang PN Jakut seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) beraninya memanipulasi fakta dengan modus menambahkan pasal dalam surat dakwaan tidak atas dasar fakta yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik Polda Metro Jaya (PMJ).

Pengacara Gelora Tarigan SH MH dengan sikapnya yang berang di hadapan majelis hakim memaparkan terjadinya “kejahatan” serius yang dilakukan JPU Fafmi Iskandar SST, SH atas nama Asisten Pidana Umum (As-Pidum) Kejati DKI Jakarta. Kejahatan yang diungkapkan Gelora Tarigan selaku Advokat dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum-Gerakan Rakyat Sadar Hukum Indonesia (LABH-GRASHI) di hadapan Ketua Majelis Hakim PN Jakut Sutjipto SH, bahwa JPU telah “menyelundupkan” pasal 335 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan target bagaimana caranya agar terdakwa Herman Yusuf (HY) kliennya itu dihukum dan masuk penjara.

Untuk itulah JPU Fahmi Iskandar lalu memasukkan pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP dalam surat dakwaan. Padahal sejak di tingkat penyidikan hingga hasilnya dituangkan dalam BAP oleh penyidik PMJ pada 1 Desember 2010 dan 25 Januari 2011 dengan jelas dinyatakan, perbuatan yang disangkakan terhadap HY hanya sebatas dugaan melanggar pasal 167 KUHP.

Mengacu pada pasal 167 KUHP tersebut itulah yang menyebabkan keberadaan YH tidak harus berada dalam sel tahanan. Hingga dihadapkan ke ruang sidang PN Jakut, YH tetap berada dalam status tahanan luar. Untuk itulah pihak saksi pelapor yang kepentingan juridisnya diwakili oleh JPU Fahmi Iskandar “bertekad” kemungkinan bagaimana caranya agar lawannya itu bisa dijebloskan ke sel tahanan, lalu terjadilah “penyelundupan” memasukkan pasal siluman tersebut ke dalam surat dakwaan.

Sebab atas dasar penerapan pasal yang “dipaksakan” itu diharapkan ketua majelis hakim berkenan memerintahkan JPU untuk segera menjebloskan YH masuk sel tahanan Rutan Salemba. Sebelumnya JPU melontarkan pendapatnya di hadapan majelis hakim bahwa Surat Dakwaan Jaksa No. Register Perkara PDM-74/JKTUT/08/2013 atas nama HY itu dapat diterima dan sah menurut hukum sebagai dasar pemeriksaan perkara.

Tentu tanggapan JPU ini tidak sesuai dengan prinsip sebagai negara hukum, karena selain JPU ini tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang berpijak atas dasar rasa keadilan, justru menjadi lebih fatal karena “menyelundupkan” pasal 335 KUHP dimaksud.

Disimpulkan sebagai “penyelundupan” karena sejak di tingkat penyidikan pasal tersebut tidak pernah diajukan penyidik PMJ sebagai alat menjerat tersangka YH. Kini sudah saatnya “kemurkaan” serupa ini dijadikan momentum oleh majelis hakim yang diketuai Sutjipto SH untuk dengan tegas menolak seluruh dakwaan JPU.

Tidak sekedar menolak surat dakwaan, malahan lebih membuat kapok, Gelora Tarigan kini mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar JPU diganjar hukuman berupa uang ganti rugi Rp 1 miliar sebagai imbal balik pengembalian nama baik, harkat dan martabat HY kliennya selama ini secara psikhis telah dibuat malu dan penderitaan bathin. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS