Buntut Pembubaran Diskusi Para Tokoh Oleh Preman, Petrus; Pecat Kapolri !!!

Loading

Oleh: Petrus Selestinus

 

KAPOLRI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, harus bertanggung jawab atas perisitiwa pembubaran diskusi para tokoh di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu 28 September 2024 yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di hadapan petugas kepolisian yang hadir di lokasi tempat kejadian perkara atau TKP.

Apapun alasannya, kehadiran sejumlah personil Polisi di lokasi Diskusi sejumlah tokoh kritikus terhadap pemerintah, berdasarkan SOP Polri, bertujuan untuk mengamankan dan melindungi pihak yang menjadi target aksi pembubaran sejumlah orang yang berunjuk rasa, bukan sebaliknya membiarkan aksi anarkis berupa pembubaran diskusi sejumlah tokoh kritis.

Diskusi sejumlah tokoh kritis, adalah bagian dari pelaksanaan pasal 28 UUD 1945, karenanya harus dihormati dan dilindungi, apalagi yang hendak didiskusikan adalah tentang dinamika politik di tanah air terkait penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi dan penegakan hukum, sebagai bagian dari partisipasi publik terhadap pembangunan yang haknya dijamin konstitusi dan perundang-undangan lainnya.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak melakukan penindakan terhadap otak atau aktor intelektual dan pelaku lapangan yaitu sejumlah anak muda yang datang membubarkan diskusi para tokoh nasional dimaksud.

Ini jelas sebagai upaya untuk mencoreng wajah pemerintahan yang baru era Prabowo Subianto yang sebentar lagi akan dilantik, sekaligus menjadi bukti bahwa institusi Polri sangat lemah dalam mengemban misi perlindungan terhadap warga negaranya.

Faktanya, tidak ada penjelasan bahwa Polri telah menindak para pelaku, padahal apa yang terjadi dengan pembubaran diskusi adalah bagian dari peristiwa pidana persekusi, pengrusakan barang dan teror yang terjadi di hadapan petugas kepolisian, terlebih-lebih tidak ada penjelasan bahwa Polri telah menangkap para pelaku lapangan di TKP. Sebaliknya,  yang terpublish adalah Polri membiarkan peristiwa itu terjadi dengan sempurna atau tuntas.

Polri Gunakan Jasa Preman

Jika Polri tidak membuka penyelidikan atas peristiwa pembubaran paksa diskusi tersebut, maka Polri patut diduga telah menggunakan jasa “preman” atau memperalat “preman” untuk membubarkan diskusi sejumlah tokoh kritis yang selama ini mengkritik keras jalannya pemerintahan Presiden Jokowi sebagai bagian dari partisipasi publik.

Peristiwa premanisme tersebut tidak hanya sebagai sebuah peristiwa yang memalukan, akan tetapi juga akan menjadi peristiwa yang membuat noda hitam dalam pemerintahan Presiden RI terpilih Prabowo Subianto, karena masyarakat akan menilai peristiwa premanisme itu sebagai sinyal kuat bangkitnya pola-pola Orde Baru pada pemerintahan era Prabowo Subianto menjadi Presiden.

Untuk membuktikan bahwa Polri tidak terlibat menggagalkan diskusi para tokoh kritis dimaksud, berupa meminjam tangan atau menggunakan tangan preman atau menggunakan pola premanisme, maka dalam waktu 3 x 24 jam terhitung sejak 28 Agustus 2024, Polri harus sudah menangkap aktor intelektual premanisme berikut para pelaku lapangan. Polri harus segera lakukan tindakan kepolisian terhadap pelaku lapangan yang identitasnya dipastikan sudah ditangan aparat kepolisian.

Jika tidak dilakukan penindakan terhadap aktor intelektualnya, Presiden Jokowi harus memecat Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari Jabatan Kapolri dengan terlebih dahulu turunkan pangkatnya satu tingkat menjadi jenderal bintang tiga dan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak lagi menjadikan Jenderal Listyo Sigit sebagai Kapolri di era Pemerintahan Prabowo Subianto.

Apa yang terjadi dengan pembubaran diskusi yang  hendak dilakukan oleh para tokoh kritis, menjadi bukti bahwa premanisme semakin merajalela dan melembaga di dalam misi resmi aparat Kepolisian, Preman diperalat Polri untuk berhadapan dengan masyarakat sipil dalam beberapa kasus di lapangan dan ini jelas bukan cara yang beradab, bukan pengayoman dan pelindungan melainkan pembodohan dengan melanggar hukum dan HAM.

Polri Puas Atas Kerja Preman

Atas peristiwa yang tak  beradab itu, Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) mengutuk keras peristiwa dimana Polri mengabaikan bahkan membiarkan pola premanisme berlangsung tanpa penindakan, tidak ada yang tertangkap tangan dan bahkan dibiarkan dan dipertontonkan oleh petugas kepolisian hingga misi preman itu selesai. Terdapat rekaman adegan di mana petugas Polisi bersalam damai dengan oknum-oknum pelaku lapangan, memberi kesan bahwa Polri puas dengan sukses pelaku lapangan mengeksekusi pembubaran diskusi para tokoh.

Ini bukan era Pamswakarsa di awal reformasi dengan peran mengemban misi kepolisian atau mengatasnamakan fungsi kepolisian atau menjadi bagian dari alat kekuasaan negara dalam kegiatan pengamanan membantu Polri.

Karena Polri saat ini sudah memiliki segala-galanya dalam menciptakan Kamtibmas dengan tetap mengedepankan fungsi pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, bukan malah menjadi bagian dari persoalan yang bersifat melanggar hukum dan HAM.

Oleh karena itu, jika dalam tempo 3 x 24 jam, tidak ada pengumuman resmi dari Kapolri, apakah aktor intelektual dan para oknum pelaku lapangan telah ditindak atau belum, maka Presiden Jokowi harus tegas bertindak cepat “berhentikan” Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatan Kapolri dan pangkat Jenderal bintang empat diturunkan menjadi bintang tiga.

Jika Presiden Jokowi tidak melakukan penindakan dan Polri tidak melakukan tindakan Kepolisian terhadap para pelaku sesuai hukum, maka Presiden terpilih Prabowo Subianto di minta untuk tidak memberikan jabatan apapun kepada Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebagai Kapolri berikutnya, karena ia telah gagal mengemban misi Kepolisian Negara selama empat tahun menjadi Kapolri.

(Penulis adalah Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara/Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia/TPDI)

CATEGORIES
TAGS