Barang Impor Banjiri Pasar Indonesia, Produk Lokal Kelimpungan

Loading

CIANJUR, (tubasmedia.com) – Pemerintah mengakui semakin banyak produk murah dari China masuk ke Indonesia. Di sisi lain, tidak mudah mengawasi gelombang impor yang terjadi.

Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea Cukai (BC) Kementerian Keuangan, Mohammad Aflah Farobi menjelaskan dokumen pengiriman barang atau consignment note (CN) melonjak drastis. Catatan barang impor ke Indonesia pada 2018 hanya 5 juta per tahun, lalu melonjak seperti air bah ke 60 juta per tahun pada 2019-2023.

“E-commerce kebanyakan barangnya nilainya kecil-kecil karena banyak konsumsi dan yang paling penting memang produksinya banyak dibutuhkan atau diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Kebanyakan barang dari China dijual,” kata Aflah saat media briefing Penerimaan Negara dalam APBN 2024 di Hotel Grand Aston, Cianjur, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).

Untuk menjaga usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia, Aflah mengaku pihaknya tidak bisa bergerak sendirian. Kementerian/lembaga (K/L) terkait perlu menerbitkan aturan larangan khusus agar tugas menjaga ‘gerbang negara’ bisa lebih maksimal.

“Bea Cukai hanya menjaga melalui gerbong yang ditentukan, K/L yang mengatur larangan pembatasannya. Larangan pembatasan ini termasuk yang lagi ramai kalau dagang ada izin e-commercenya apa nggak,” tuturnya.

Meski begitu, larangan pembatasan impor disebut bukan wilayahnya. Dalam mengamankan setiap masuknya barang impor, BC hanya memastikan dua poin terpenuhi yakni jumlah dan jenisnya sesuai, serta bea masuk dan perpajakannya dibayar sesuai ketentuan.

“Bea cukai melaksanakan tugas larangan pembatasan itu seperti yang diatur k/L. Jadi dalam menjaga serbuan barang-barang murah China tadi, Bea Cukai tidak bergerak sendirian, tapi bersama-bersama dengan K/L terkait,” terang Aflah.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan terdapat sekitar 28.480 kontainer tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal masuk ke Indonesia setiap tahunnya.

Hal itu membuat industri TPT nasional tertekan dalam beberapa tahun terakhir.

Impor Tekstil Melimpah

Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta mengatakan angka impor tekstil ilegal ini terus naik setiap tahunnya. Hal itu terlihat dari perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional terkait impor TPT dengan data ekspor China.

Berdasarkan data dari General Custom Administration of China pada 2022, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai US$ 6,5 miliar. Sedangkan BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya US$ 3,55 miliar.

“Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp 1,5 miliar, maka diperkirakan sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk per tahun atau sekitar 2.370 kontainer ilegal per bulan” kata Redma dalam keterangan tertulis.

Dari data tahun 2022 tersebut, artinya terdapat gap mencapai US$ 2,94 miliar atau setara Rp 43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi dari BPS. “Padahal beberapa tahun sebelumnya masih di bawah US$ 2 miliar,” tambah Redma.

Redma memperkirakan pangsa pasar barang impor ilegal ini mencapai 41%. Hal itu jika dibandingkan dengan nilai konsumsi TPT masyarakat di tahun 2022 yang diperkirakan mencapai US$ 16 miliar.

“Artinya 41% TPT yang dikonsumsi masyarakat adalah ilegal. Hal ini tentu sangat merugikan karena barang-barang impor ilegal ini tidak bayar Bea Masuk dan Pajak sehingga bisa dijual sangat murah di pasar domestik dan produk lokal kalah bersaing” tuturnya.

Permasalahan ini sudah menahun menjadi biang kerok terpuruknya kinerja industri TPT nasional. Redma menjelaskan bahwa angka ekspor tekstil China ke Indonesia senilai US$ 6,5 miliar, setara dengan 800 ribu ton atau sekitar 45% dari kapasitas produksi industri kecil menengah (IKM) garmen yang berorientasi pasar domestik.

“800 ribu ton per tahun jika dikerjakan oleh IKM bisa menyerap tenaga kerja sekitar 2,4 juta orang, belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya” jelas Redma.

Padahal multiplier effect ekonomi dari industri TPT sangat besar. Untuk itu, Redma meminta agar pemerintah segera bertindak tegas baik di sisi importasinya maupun dari sisi peredarannya di pasar.

“Ini sudah terjadi pembiaran selama bertahun-tahun hingga saat ini kondisi industri TPT nasional sudah kronis. Beberapa perusahaan sudah tutup, sebagian sudah banyak mematikan mesin hingga banyak karyawan yang terkena rasionalisasi karena utilisasi turun,” ungkapnya. (sabar)

 

CATEGORIES
TAGS