Wartawan Harus Menaati Kode Etik Jurnalistik (2)
Oleh : Hakri Miko
Bagian Kedua dari Dua Tulisan
DALAM melaksanakan tugas profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Ini sesuai dengan pasal 8 UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Kemudian setiap karya wartawan tidak selamanya memuaskan. Kepada yang merasa dirugikan, Pers diharuskan memberikan kesempatan Hak Jawab.
Dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan, “Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya,”. Satu hal lagi yaitu hak koreksi. “Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain”.
Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar, yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Di sini jelas masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, secara leluasa diberi pintu untuk menjawab maupun mengoreksi terhadap hasil karya wartawan. Dengan demikian wartawan dalam membuat berita, datanya harus benar-benar akurat, jangan asal-asalan, sehingga bisa terhindar dari sanksi pidana, perdata, maupun sanksi organisasi.
Oknum wartawan yang demikian sudah tentu harus ditertibkan, karena mencemarkan nama baik profesi wartawan dan sering mendapat sindiran sebagai wartawan “odong-odong”. Siapa yang pertama kali memberi istilah ini ? Yang jelas jenis wartawan “odong-odong” saat ini lagi mewabah, bahkan populasinya lebih banyak ketimbang wartawan asli. Bahkan, Ketua Dewan Pers, Bagir Manan menyebutnya wartawan “abal-abal”.
Bahkan Bagir pun setuju, wartawan yang memeras narasumber, bisa langsung dipidanakan karena telah melakukan perbuatan pidana. Misalnya kepala sekolah dan bendahara dana BPS di sekolah kenapa harus takut pada wartawan kalau memang selama betugas tidak melakukan penyelewengan.
Wartawan yang mencari-cari kesalahan orang, tendensius dan fitnah serta membuat seseorang tidak senang, jelas merupakan pelanggaran. Ini bisa dilaporkan ke polisi. Perlu dicermati dan diwaspadai sekarang, banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai wartawan.
Wartawan odong-odong atau abal-abal ini tentu sangat merepotkan pemerintah daerah dan perangkatnya, bahkan mencoreng nama baik wartawan yang benar-benar wartawan. Keluhan demi keluhan berdatangan dari masyarakat yang sering merasa dirugikan oleh orang yang mengaku-ngaku wartawan.
Dampaknya pejabat yang bersangkutan menyamaratakan seluruh wartawan memiliki perilaku seperti itu. Ini tidak baik bagi perkembangan pers di daerah. Lalu siapa yang mengontrol pers? Kontrol pers menurut Leo Batubara dilakukan oleh internal dan eksternal. Pelaku kontrol oleh internal yakni hati nurani wartawan sendiri, editor dan sub editor dan ombudsman media yang bersangkutan.
Sedangkan kontrol eksternal dilakukan oleh masyarakat, media watch, organisasi wartawan (PWI, AJI, IJTI), Dewawn Pers, jalur hukum.Di organisasi PWI ada yang namanya Dewan Kehormatan PWI. Dewan Kehormatan PWI bersifat otonom ditetapkan oleh Kongres. Dewan Kehormatan PWI bertugas antara lain menanamkan dan menumbuhkan kesadaran serta komitmen wartawan Indonesia untuk menaati kode etik jurnalistik.
Meneliti, memantau dan mengawasi pelaksanaan penataan kode etik jurnalistik dan melayani dan memproses setiap pengaduan masyarakat maupun jajaran media massa.Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya Dewan Kehormatan PWI menempuh dua cara yakni bersifat aktif dan pasif.
Adapun sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan PWI dapat berupa peringatan biasa, peringatan keras atau skorsing dari keanggotaan PWI selama-lamanya dua tahun. Tindakan yang dapat diambil Dewan Kehormatan PWI atas pengaduan masyarakat setelah ditelaah dan dipelajari yaitu bisa menolak atau menerima pengaduan dari nara sumber yang dirugikan.
Begitu juga dalam menyikapi pengaduan para pihak tentang pemberitaan pers yang merugikan masuk ke jalur Dewan Pers, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan, penilaian, dan rekomendasi (PPR) sanksi terhadap media yang dinilai melanggar KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia).
Setelah mengkaji pengaduan masyarakat, Dewan Pers dapat memberi rekomendasi lima sanksi terhadap media, yaitu: (1). Melakukan ralat/koreksi, (2). Memenuhi hak jawab, (3). Permintaan maaf terbuka, (4). Kesepakatan ganti rugi oleh kedua belah pihak atas fasilitas Dewan Pers, dan (5). Melakukan skorsing sementara sampai dengan tindakan pemecatan terhadap wartawan yang terbukti bersalah.
Tugas Dewan Pers hanya menghasilnya pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR). Yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah pimpinan media yang bersangkutan. Bila media tersebut tidak melaksanakan sanksi, Dewan Pers mempublikasikan secara terbuka, sehingga yang melakukan penilaian akhir adalah publik.
(Penulis, seorang wartawan Tunas Bangsa (Tubas) di Tasikmalaya, Jawa Barat)