Sindikat Penjualan Bayi “Mati Kutu”
Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi
TUNDA punya anak komplotan sindikat penjualan bayi “mati kutu”. Erika bersama suaminya sehati menunda dulu selama tiga tahun untuk tidak punya momongan. Bekerja sebagai pengasuh rumah tangga sang majikan di negeri Belanda, jauh-jauh berkelana ke negeri kincir anging sono, Erika bersama suaminya yang bekerja semrautan sebagai teknisi AC mobil dan rumah serta perkantoran itu, sekuatnya menyisihkan penghasilan berdua untuk ditabung.
“Setiap ada yang berangkat ke Indonesia, anak dan menantu saya selalu menitipkan mata uang Euro untuk saya tabungkan,” ujar Bambang Irawan ayah kandung Erika saat ngobrol bersama tubasmedia.com di teras rumah kediamannya Pondok Mekarsari Permai Cimanggis Depok, Rabu (6/2).
Dari hasil tabungan putri sulungnya itu, telah dibelikan dua unit rumah di kawasan Cibinong sebagai asset. “Sebagai seorang ayah harusnya sudah saatnya saya punya cucu. Tapi karena anak dan menantu saya punya program demi masa depan cucu, mereka menunda tiga tahun tidak memberi cucu buat saya. Insya Allah tahun ke empat mereka mulai programkan punya anak dan saat itulah anak saya kembali ke Indonesia untuk selamanya,” tutur Bambang Irawan penuh harap.
Suatu saat menurut Bambang Irawan, pernah bertanya kepada anaknya kenapa harus menunda punya anak, jawabannya “Ayah…biarlah saya dengan menantumu banting tulang asal anak kami yang juga cucu Ayah itu nantinya begitu lahir hidupnya tidak menderita dan kami mampu untuk menyekolahkan jadi orang yang kelah berguna bagi sesama.”
Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa masih saja ada kaum ibu tega menjual bayi yang lahir dari kandungannya? Dari hasil penelitian tubasmedia.com faktor utama adalah latar belakang ekonomi yang sangat tidak memadai untuk memenuhi standarisasi kehidupan keseharian. Tidak sepakat menunda karena dikalahkan keindahan halalnya hawa nafsu pernikahan.
Ancaman pidana pun adakalanya tidak disadari karena keterbatasan kepekaan naluri dan un intelektualitas. Bahkan, menjual anak bisa saja disanubarikan sang ibu, demi kasih sayang, menyelamatkan masa depan yang lebih baik bagi sang bayinya jika berpindah hak asuh ke tangan pemilik uang. Maka pola asumsi publik perlu diseminarkan untuk memahami bahwa ada realita fakta di sebagian kaum ibu “Menjual Bayinya Demi Kasih Sayang…?”
Fakta, baru-baru ini tepatnya 9 Januari lalu, jajaran Polres Jakbar berhasil meringkus tujuh wanita komplotan dalam jaringan sindikat penjualan bayi di Jakarta. Dengan menggunakan dokumen palsu, bayi yang dibeli kawanan sindikat itu kemudian dijual ke Singapura. Kejahatan kemanusiaan itu sudah berlangsung sejak tahun 1992.
Menurut Kasat Reskrim Polres Jakbar Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi, basis profesi komplotan itu beraneka ragam, dari dukun beranak, mantan bidan hingga ibu rumahtangga. “Pimpinan sindikat itu, itu yang mantan bidan,” tambah Hengki menandaskan.
Dari hasil pemeriksaan menurut Hengki, pelaku bisa menjual tiga hingga empat bayi dengan harga bervariasi “Bahkan pada tahun 2010 sindikat ini berhasil menjual 12 bayi,” tandas Hengki, Rabu (6/2).
Ketujuh sindikat yang ditangkap itu masing-masing berinisial LD alias T (48) ibu rumah tangga. HS alias L (62) mantan bidan, R (51) dukun beranak, M (57) perantara E (40) ibu rumah tangga dan LS (35) ibu rumah tangga. Bayi yang dibeli sindikat ini kemudian dijual ke luar pulau mau pun ke luar negeri dengan harga Rp 50 juta hingga Rp 70 juta per-anak. Perbedaan harga tergantung kondisi seutuhnya alamiah bayi. Penjualannya dilakukan secara berantai dari tangan yang satu ke tangan berikutnya hingga berakhir di tangan pemesan yang menjadi bapak-ibu asuh sang orok.
Tangan pertama yang dilakukan HS alias L bayi dijual seharga Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Tangan kedua bisa terjual seharga Rp 20 juta hingga Rp 25 juta, sedangkan tangan berikutnya bisa mencapai Rp 50 juta hingga Rp 70 juta setiap bayi. Para tersangka ini dijerat hukuman karena melanggar UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dikonstruksikan pada pasal 83 tentang Perdagangan Bayi dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara ditambah hukuman denda Rp 60 juta.
Menurut Hengki sindikat itu selalu mengincar mangsanya dari keluarga miskin yang kesulitan membayar biaya persalinan. Biasanya orang tua bayi itu terpaksa meninggalkan bayinya sebagai jaminan sambil mereka mencari uang untuk melunasi biaya persalinan. Kondisi itulah yang dijadikan celah oleh sindikat untuk melepas bayinya dengan harga. “Bahkan sempat ada yang sudah melakukan down payment (uang muka) sebesar 500 dolar AS untuk biaya rumah sakit selama bayi dirawat,” kata Hengki. ***