Remisi Kepada Terpidana Narkoba

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

MASIH segar dalam ingatan kita saat Kementerian Hukum dan HAM menyatakan sikap tidak akan pernah mundur dengan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada koruptor. Bahkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan sikap itu tidak akan pernah luntur meski penjara sebagai taruhannya.

“Saya siap dipenjara sebagai ganjarannya atas sikap saya mempertahankan dan melanjutkan kebijakan pengetatan pemberian remisi dan bebas bersyarat,” begitu kata Denny saat itu.

Pertimbangan Denny ketika itu mungkin karena korupsi adalah musuh manusia yang tidak perlu dikasih hati dan tidak layak diberi belas kasihan kendati pemberian fasilitas itu diatur oleh undang-undang. Koruptor adalah pelaku tindak pidana yang dapat membunuh manusia sehingga wajar jika tidak perlu difasilitasi, bahkan bila perlu ditembak mati.

Rasanya tidak jauh beda pengaruh buruk korupsi dengan pengedar narkoba terhadap keselamatan manusia. Bahkan mungkin bisa disebut, narkoba jauh lebih jahat ketimbang korupsi yang sudah ajdi musuh umat tersebtu.

Artinya, jika kepada pelaku tindak pidana korupsi saja kita berani menawarkan agar dijatuhi hukuman tembak mati, apalagi kepada pengedar narkoba. Rasanya tidak ada peluang sedikit-pun kepada pengedar narkoba untuk dimaafkan. Para bandar narkoba itu sudah harus dihukum seberat-beratnya. Tembak mati saja karena akan merusak anak manusia, khususnya merusak generasi muda.

Namun lain dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi atau pengurangan masa tahanan kepada terdakwa kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Presiden memberikan Corby grasi lima tahun dari total vonis penjara selama 20 tahun.

Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, Grasi dari Presiden ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia (WNI) di Australia yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.

Corby divonis selama 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti membawa marijuana atau ganja seberat 4,2 kilogram saat berkunjung ke Bali. Dia kini ditahan di Penjara Kerobokan Bali.

Langkah Presiden SBY memberikan grasi kepada narapidana narkotika tentunya menuai kritikan sebab bukan langkah yang bijak dalam pemberantasan narkotika. Di satu sisi pemerintah bertekad untuk membarantas perdagangan narkoba, tapi di sisi lain, bahkan Presiden SBY memberi grasi.

Pemerintah Indonesia memberikan grasi atau pengurangan hukuman kepada terpidana kasus narkotika Schapelle Corby asal Australia dengan harapan WNI (warga negara Indonesia) yang ditahan Australia dibebaskan.

Alasan pemerintah Indonesia tersebut dinilai janggal sebab ada kesan barter antara tahanan Indonesia dengan tahanan Australia. Selain kasus tahanan kedua negara itu sangat berbeda, rasanya WNI yang ditahan dimanapun, kalau memang layak dihukum biar saja dulu dihukum. Masa terpidana narkoba dibarter dengan terpidana nelayan.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, para WNI yang ditahan otoritas Australia adalah nelayan yang karena upah tidak seberapa, melakukan penyeberangan gelap dari Indonesia ke Australia.

Artinya, para nelayan yang ditahan Australia bukanlah pimpinan sindikat atau aktor intelektual sehingga kejahatan yang dilakukan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan Corby yang dapat merusak generasi muda bangsa. Tanpa pemberian grasi kepada Corby-pun, otoritas Australia akan mengembalikan para nelayan Indonesia.

Dengan menahan nelayan dalam akksus imigran gelap, pemerintah Australia di mata dunia dianggap melanggar HAM karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan disidang. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS