Site icon TubasMedia.com

Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Semakin Sulit di Jakarta

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

221014-bb2

SANGAT menarik pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, di tengah harga rumah yang melambung dan tidak terjangkau masyarakat, ia akan membangun rumah susun sederhana sewa dengan konsep harga kos-kosan.

“Kami akan membangun dua blok setinggi 40 lantai di Kuningan, Jakarta Selatan dan menurut rencana akan digabung dengan kantor dan fungsi lain. Dengan demikian, warga kelas menengah akan mau tinggal di sana,” katanya baru-baru ini. Ide ini cukup cemerlang, khususnya bagi kaum pekerja di kawasan bisnis itu.

Sekali pun proyek hunian terus bermunculan di Jakarta dan sekitarnya, tetapi terbukti tidak menjawab kebutuhan rumah hunian bagi warga masyarakat golongan menengah ke bawah. Harga rumah tapak ataupun apartemen terus membubung, seiring dengan menjamurnya proyek pembangunan properti nonsubsidi di kawasan Jabodetabek.

Menurut data Kementerian Perumahan Rakyat, kebutuhan rumah tahun 2014 mencapai 15 juta unit di seluruh Indonesia, terbanyak untuk kawasan perkotaan. Sedangkan pertumbuhan pembangunan rumah per tahun hanya 800.000 unit. Masyarakat kelas menengah ke bawah, merupakan pihak terbanyak yang membutuhkan rumah layak huni yang belum terpenuhi.

Sebenarnya, di tangan pemerintah ada kewenangan untuk memaksa perusahaan properti nonsubsidi untuk melaksanakan konsep kawasan hunian berimbang. Yakni di setiap kawasan perumahan, harus ada campuran antara kelas atas, menengah, dan kelas bawah, lengkap dengan fasilitas publik yang dibutuhkan, mulai dari transportasi sampai fasilitas umum lainnya. Konsep hunian berimbang tersebut, diwujudkan dengan perbandingan pembangunan rumah mewah, menengah, dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan pola 1: 3: 6 atau 1: 2: 3 sesuai demografi kawasannya.

Sebenarnya hal itu sudah dipersyaratkan ketika memperoleh izin penguasaan lahan dari pemerintah. Tetapi kenyataan di lapangan tidak pernah terealisasi, karena tidak ada pengawasan. Bahkan, yang disebut areal fasilitas sosial (fasos) dan untuk fasilitas umum (fasum) yang semula ada dalam siteplan-nya, lama-lama menghilang menjadi areal terbangun untuk ruko, rukan, dll.

Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012, pengembang properti apartemen atau rumah vertikal, diwajibkan membangun perumahan dan kawasan permukiman dengan hunian berimbang. Pengembang setidaknya harus mengalokasikan 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial untuk rumah susun umum. Alasan pengembang tidak bisa memenuhinya, karena harga tanah, khususnya di Jakarta yang terus naik.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia, Eddy Ganefo kepada salah satu media di Ibukota, baru-baru ini mengatakan, tidak mungkin menggabungkan apartemen komersil dengan rusun sederhana dalam satu menara. Tidak sebanding apabila rusun berharga rendah, dijual di lokasi dengan harga tanah yang mahal.

Ia usulkan ada kompromi, misalnya, pengembang membangun rusun sederhana di kawasan penyangga yang harga jual tanahnya belum terlalu tinggi. Dicontohkan, harga rata-rata tanah di Jakarta mencapai Rp 50 juta/m2, sementara di Tangerang, Depok dan Bekasi (Tadebek) masih dapat Rp 5 juta – Rp 10 juta/m2. Rumah susun mewah (komersil) dibangun di Jakarta, sementara rusun sederhana dibangun di luar Jakarta (Tadebek). Tetapi, usul itu jelas bertentangan dengan Permen Perumahan Rakyat tersebut, karena apartemen komersil dan rusun sederhana harus dibangun dalam satu wilayah kabupaten/kota.

Namun, untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, usul itu bisa juga dipertimbangkan sebagai jalan tengah dengan mengkonversikan kewajiban para pengembang properti yang tidak membangun hunian berimbang di kota Jakarta, agar membangun rumah susun sederhana sewa di tanah milik Pemprov DKI yang tengah gencar dilakukan saat ini.

Pemprov DKI Jakarta saat ini masih terus berkonsentrasi memindahkan warga dari permukiman kumuh, bantaran sungai dan tepi-tepi waduk ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang disediakan. Dalam dua tahun terakhir ini Pemprov DKI baru berhasil memindahkan sekitar 5.400 keluarga ke rusunawa yang ada. Padahal, masih puluhan ribu keluarga lagi yang harus ditampung di rusunawa.***

Exit mobile version